Pages

3.8.23

Kepingan Mencari Makna

Kadang untuk memulai hari tidak semudah bangun pagi lalu mandi 

Hal yang biasa dilakukan cepat tepat selesai, kadang butuh waktu hitungan jam untuk memulai 

Sulit menyeleraskan hati dan pikiran untuk melakukan apa di hari ini

Manakala semua kehilangan makna

Pikiran jenuh, hati lusuh, dan apa yang harus kulakukan pada tubuh

Aku tak ingin semena-mena pada mereka yang juga memiliki hak merdeka

Seperti aku, yang juga tak ingin disewenang-wenangi, walau hanya kepingan dari sebuah gambar utuh 

Meskipun saat ini sedang kupertanyakan gambar apa yang sedang kulengkapi sesungguhnya?

Haruskah ku buat pola dan gambar sendiri dan keluar dari gambar besar ini?

Sebuah gambar yang kupahami benar visual dan pemaknaannya


Jadi.. bisakah kita bangun pagi hari ini? (bertanya ulang pada pikiran, hati dan tubuh)


22.4.23

Books in the Blogs Next Door

Cetak atau E-Book?

Tahun ini, saya menemukan hal lain yang menarik dari membaca buku. Setelah kehilangan media cetak seperti majalah, tabloid dan koran, karena secara perlahan mereka mengurangi kualitas dan kuantitas produksi; merubah medium dari cetak menjadi online; bahkan beberapa akhirnya menghentikan produksinya dan mengucapkan selamat tinggal; syukurlah cetak buku masih bertahan! Meskipun, e-book, serta segala gawai dan aplikasi yang mendukungnya, seperti kindle, amazon, pdf, dll menyerbu, penikmat buku ternyata masih setia pada cetakan buku. Wangi kertas dan tinta memang tak tergantikan. Deretan buku di rak juga masih jadi pemandangan yang menyejukkan dan menangkan pikiran. Kita tidak bisa menjamah deretan e-book toh!

Bagaimana bisa bertahan? Menurut saya ini masalah kesetiaan. Loyalitas penulis, penerbit dan pembaca. Meskipun soal kesetiaan ini akan dibuktikan dengan waktu. Kemudian waktu akan memperkuat atau justru membuktikan seberapa kuat ikatan. Tidak hanya ikatan antara penulis dan pembaca, tetapi juga dengan penerbit dan toko buku. Simbiosis mutualisme. 

Kemajuan teknologi di satu sisi membuat kita bebas memilih di antara ultra banyak pilihan. E-book atau buku cetakan? Fiksi atau non fiksi? Sastra atau metropop? Karya cetak ulang atau terbitan baru? Genre? Sepertinya masih banyak lagi pilihan yang lain bukan? 

Bagaimana pilihan disajikan? Bagaimana membangun hubungan dengan konsumen atau pembaca? Bagaimana mempertahankan hubungan? Bagaimana membuat pembaca merasa terlibat dan diapresiasi? Sepertinya pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi pertimbangan tenaga pemasar buku saat ini. Banyaknya media memungkinkan penerbit dan toko buku meluaskan jangkauan. Namun, bagaimana menyasar konsumen yang spesifik? Konsumen yang akhirnya bersetia pada karya atau produk cetakan tersebut? 

Membuat event rilis buku, bedah buku, challenge dan give away sepertinya menjadi strategi pemasaran. Diskon besar-besaran juga menjadi pilihan yang sulit ditolak, apalagi oleh kelektor buku. Saat ini, penjualan online atau marketplace menjadi salah satu platform yang digunakan, bahkan oleh penerbit-penerbit besar, dengan tetap menggunakan rak-rak toko buku sebagai sarana display. Deretan rak buku dengan tumpukan rapi buku-buku masih menggoda pecinta buku dengan "lambaian-lambaiannya". Tranquility. Mungkin menggambarkan kondisi ketenangan jiwa atau sensasi ekstase saat pecinta buku ada di toko buku. Hal ini kerap bikin 'nagih'. Jadi beli atau tidak beli buku, tetap perlu ada momen pergi ke toko buku hampir setiap bulannya. Jika ingin cuci mata, pergilah ke toko buku dan amati buku apa saja yang masih ada di display toko. Namun, jika Anda mencari buku dengan jadwal spesifik dan sudah jarang ditemukan, toko buku online mungkin adalah jawaban. 

Dari sisi harga, toko buku yang memiliki akun di marketplace juga kerap memberikan diskon besar-besaran di tanggal atau event tertentu. Kadang kita bisa mendapatkan buku dengan harga yang kurang masuk akal murahnya, dibandingan dengan jika kita membelinya langsung di toko buku. Tinggal scroll scroll dan tap tap, pilih metode pembayaran. Dalam hitungan hari buku pilihan Anda sudah terkirim ke alamat tujuan. Jadi.. semakin mudah bagi introvert  yang malas keluar rumah untuk membangun 'surga' di rak bukunya. 


Aplikasi

Selain aplikasi terkait pemasaran dan pegumpulan point untuk mendapatkan diskon, ada satu aplikasi lagi yang baru saya gunakan tahun ini, dan ternyata saya menyukainya. Goodreads, ya goodreads! Akan menyenangkan jika Anda memiliki waktu untuk membuat indeks buku-buku yang pernah Anda baca, atau Anda miliki. Namun, terkadang konsistensi menjadi tantangannya. Goodreads membantu kita mengumpulkan buku-buku yang pernah kita baca, kapan kita membacanya, bahkan membantu kita menandai jika sebuah buku kita baca ulang. Goodreads juga memberikan hampir seluruh resensi buku-buku yang memiliki ISBN, dengan memanfaatkan kekuatan dan kebebasan user-nya untuk mengomentari segala hal tentang buku yang masuk dalam daftar goodreads

Hal lain yang ditawarkan goodreads dan menarik untuk saya adalah statistik dan challenge. Hingga hari ini goodreads telah membantu saya menghitung dan membuat daftar buku apa saja yang pernah saya baca. Total 220 buku yang telah berhasil saya masukkan ke dalam daftar yang telah saya baca dan sepertinya akan terus bertambah, tidak buruk bukan? 


Untuk urusan statistik, goodreads juga membantu saya melihat total buku yang bisa saya baca per tahunnya. Saya jadi tahu jumlah buku dan judul buku yang saya baca setidaknya dalam 20 tahun terakhir. Saya rasa ini super keren! Saat ini, saya juga sedang mengikuti Reading Challenge 2023-nya goodreads. Berapa banyak buku yang sanggup kamu baca di 2023? Meskipun awalnya seperti kompetisi, tetapi hal baiknya adalah aplikasi ini membuat saya bersemangat lagi di bidang literasi. Menemukan kembali gairah dan hal positif untuk mengisi waktu luang. Sementara hal negatifnya adalah belanja buku yang memenuhi rak, dan budgeting yang menjadi tidak konsisten. 




Bookstagram vs Books Blogger vs Goodreads Reviewer


Awalnya karena punya akun instagram dan ingin bisa mengurangi isi rak buku (untuk diisi buku lainnya) hehehe.. Saya membuat akun instagram khusus buku, ada ulasan, ada juga jualan buku bekas yang masih layak beli atau layak baca. Setidaknya sebanding dengan harga yang saya tawarkan. Bukunya juga buku asli dan bukan buku bajakan. Namun, sekarang sepertinya memang lebih mudah jualan lewat marketplace, jadi instagram buku saya hanya sebagai tempat untuk ulasan dan display  dagangan saja. 

Ganti nama akun juga akhirnya pernah dilakukan, karena sepertinya namanya kurang catchy, atau kurang filosofis gitu hehe.. Terus, apa bedanya dong tiap platform yang dipakai? 

Jadi.. untuk instagram lebih seperti display. Saya pajang buku yang pernah saya baca atau ingin saya lepas dan saya tautkan ke aku blogger, goodreads, atau shopee saya, sesuai kebutuhan dan tujuan tiap post atau story. Di instagram saya tidak bisa menulis ulasan panjang lebar, jadi kalau sekiranya saya ingin menulis agak panjang, berikut bercerita di balik cerita, rasanya blogger sudah paling pas. Mau sepanjang apapun, rasanya masih bisa menampung. 

Untuk goodreads biasanya saya tulis apa yang saya pikirkan atau kesan saya tentang sebuah buku. Nah, sebagian dari tulisan di goodreads ini yang saya masukkan ke deskripsinya postingan instagram. Sampai sekarang, saya juga belum menemukan tema yang paling sesuai buat bookstagram saya. Tone antara satu postingan ke postingan lain di instagram saya masih suka jomplang. Anyhow.. but I am still trying.. Belakangan saya juga coba-coba bikin reels, masih jauh sih dari bookstagram pro, tapi mudah-mudahan ada gunanya buat pecinta buku lainnya. 

Kalau kamu suka baca dan mau bahas buku sama-sama, you can find me in blogspot daily-literacy, @goodreads, instagram @dailyteracy. May the books let us find each other.. 

5.4.22

Always Late but NEVERMIND!

To All who were growing up before me and like music, may tell, that they've listened to Nirvana since early 1990s, at the time Kurt Cobain still alive. Unlucky me, I fell in love with them after the shocking death of the vocalist on April 5th 1994. 

I forgot in what way I first saw them. But radio and MTV helped much at that time. You would wait for the time MTV played cool videos. And yes, I spent much time to watch MTV. I don't really remember but I am sure they still play the Nirvana's video from MTV Unplugged, that was recorded in late 1993.  Then I can see how handsome the vocalist was. They had great music and extra bonus, they had cute and handsome vocalist who has nice scream! Actually My Mom who also introduced with this band. My Mom! And I felt it super cool.. 

On 1997 until 1998, I am about 14-15 years old. Not much interesting activity I can do. Radio, magazine and television are media which we can used to gather any information that interesting for us. So like I've said before, we have plenty of time and less distraction. In the time of turbulence, that's called storm and stress in psychology, I found comfort in listening and reading about this band. Yes, I was 3 years behind the actual peak popularity of Kurt Cobain and Nirvana. But NEVERMIND!

And yes, NEVERMIND was the album that I often listened. We played it in radio tape, and first we bought the cassette of course. The consequences was we have to listen all the songs in side A and B, yes we can push the button of rewind or fast forward but it wouldn't be good for your cassette. Beside that you always had time to listen to the whole album and remember almost all the lyrics in the album, That's what made you called die hard fans! I will try to check whether I still had those cassette. 

In the album Nevermind, Smells Like Teen Spirit was one of the hits and seemed that everybody knew that song. But Drain You was my favorite. Teenage time was like riding a roller coaster. You were confused with yourself, your feeling, people around you. Liked you didn't want to say "Yes!" but you must say it almost all the time. Now, I realize that Nirvana teach me to scream, to let all the aggression out, and start the rebellious attitude. But still I can not sing it out loud at school. This kind of song, dominated by boys. So with few of my friends I just sang Oasis, like Stand by Me or Don't go away from the album Be Here Now. 

The rebellious attitude continued. I didn't like most of the lessons at school, except the English lesson, because it helped me to understand the songs. So I spent my time not for studying, but looking for the information about this band. Then I wrote it down in loose leaf papers and archiving it to my binder, full of papers with smiley face in it, you called it Mr. Smile. Some of the information that I got was about the line up of the band. They were Kurt Cobain, Krist Novoselic, and Dave Grohl. 

Since, I felt that the death of the vocalist was tragedy, I wrote quite much about it. How's the life of Kurt Cobain until the day he died, his wife and also his daughter Frances Bean Cobain. 

That day, I haven't understood about the substances using, the addiction, the mental illness and depression. I just realized that a boy who can play guitar is cool. And boys who can play guitar and sing are super cool. 

To be continued ...






4.4.22

First, Start with Nirvana!

Hello Again on 4422! 

It's been ages.. nope actually just years. I don't have time to write, nope actually I don't have gut to do it anymore. But, this situation really moved my heart. Another loss of the rock star, yes sadly it's true! 

Since it's not about history, but just my own story of getting to know music and grew up with it. It may not be accurate. I can't give you accuracy in it. I just bring the old memories. 

When I was in junior high school around 1997 to 1998, I influenced by one legendary band called Nirvana. And hell yeah everything relate to Kurt Cobain back then. In the condition with no internet, limited TV program, especially for me who lived in a small town. But at that time, I remember there are magazines. The most popular music magazine back then is called "Hai!". 

Another thing that I remember, we always have much time to read and to write. At that time I was 14 years old girl who got struck by Nirvana, I don't really remember what's the real factor. Because I started to listen to them after the front man passed away. It means few years after all those popularity that led to tragedy. Then I knew that he took his own life with a gun. 

And couple days ago up until today, I want to see what I've missed. After the death of the drummer of Foo Fighters be announced to public, then I take some times to put my eyes and ears to look up for the music video I've been grown up with. And yes, I can see many things I haven't been able to see before. Brings all the memories. Yet, I realize that from music, we also learn to name what we felt back then, to understand our situation, to relate with other persons memories and experiences. 

So, it might be a good idea, to write down what the hell happening back then as a teenager. All the understandings and the memories. 

Here's the introduction in the very first day. I feel like I have the gut to write again. I hope I still have the gut in day two. 

Rest in Peace T! 

25.7.17

Masjid Lautze 2


“Mbak.. mbak restorannya sudah buka?” ujar seorang tamu. Pertanyaan itu membuat Jesslyn (22), Humas Masjid Lautze 2 kaget sekaligus geli. Bagaimana tidak, bangunan yang sehari-harinya digunakan untuk beribadah itu pernah disangka restoran oleh orang awam. Arsitektur Masjid Lautze ini memang unik dan terletak di antara ruko-ruko, sehingga pernah mengecoh pengunjung. Jika dilihat dengan seksama, bentuk bangunan masjid ini merupakan perpaduan budaya China dan Timur Tengah, yang disesuaikan dengan lingkungan sekitar. “Masjid ini diarsiteki oleh Pak Umar. Ia yang mendesain kubah berbentuk setengah bawang dengan banyak celah, agar bangunan ini mempunyai ciri sebuah masjid, tetapi tidak menganggu ventilasi mess karyawan Hotel Istana yang terletak di atas masjid ini,” tutur Jesslyn. Selain memiliki pintu kaca, masjid ini juga dipasangi pintu model rolling door  yang dikunci pada malam hari demi keamanan.

Masjid Lautze 2 sehari-harinya memang tidak selalu diramaikan jamaah. Tak seperti masjid-masjid lain yang pintunya hampir selalu terbuka lebar, pintu masjid ini nyaris selalu dalam keadaan tertutup. Eksistensi Masjid Lautze 2 akan nyata terlihat pada hari Jumat, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Seperti pada suatu Jumat di awal bulan Oktober 2010, pukul 11.00 siang, pengurus masjid sudah sibuk mempersiapkan peralatan untuk Salat Jumat. Sound system diletakkan di luar masjid agar khotbah dan suara imam dapat didengar jelas oleh para jamaah. Tikar untuk alas salat diamparkan tak hanya di dalam masjid, tetapi hingga ke trotoar di sekitar masjid, mulai dari belokan Jalan Lembong menuju Jalan Tamblong, terus sampai hampir dekat Jalan Kejaksaan. Untuk mempermudah jamaah yang belum bersuci, keran-keran untuk mengambil air wudu pun disediakan di trotoar.

Tepat saat adzan berkumandang para jamaah yang hampir semuanya laki-laki bergegas menuju masjid. Jika beruntung mereka akan mendapatkan tempat yang terlindung dari sinar matahari. Namun jika terlambat, mereka harus rela kepanasan dan menanggung risiko kehujanan. Para jamaah yang kebagian salat di luar masjid, awalnya mengisi tempat-tempat yang disediakan mulai dari belokan dan terus bergerak ke arah kiri. Jika kebetulan jamaah Salat Jumat sangat ramai, seperti hari itu, yakni lebih dari 230 jamaah, maka yang datang belakangan, ada yang sampai harus salat di antara motor-motor yang diparkir di trotoar dan safnya agak terpisah dengan jamaah yang lain. Menurut Jesslyn, pernah ada wacana untuk menutup sementara Jalan Tamblong tiap waktu Salat Jumat, agar para jamaah tidak terganggu dengan bisingnya kendaraan yang lalu lalang. Selain itu juga, agar tersedia tempat salat yang lebih luas. Namun hal ini sangat sulit dilakukan, mengingat Lautze terletak di jalan utama. Jadi yang dapat dilakukan hanyalah menyiasati segala keterbatasan.

Usai Salat Jumat, para jamaah segera kembali menuju ke tempat aktivitasnya masing-masing. Dari kerumunan jamaah yang meninggalkan masjid, etnis TIonghoa tak tampak menonjol. Mayoritas jamaah adalah warga sekitar atau karyawan yang lokasi kantornya dekat dengan masjid. Nyaris tak ada jamaah berkulit kuning dengan mata sipit, yang ada justru jamaah berkulit hitam, berpostur tinggi dan bermata besar. Menurut pengurus masjid, kedua jamaah tersebut adalah keturunan Pakistan yang bermukim di Jalan Tamblong.

Soal jamaah Masjid Lautze 2 yang mayoritas bukan etnis Tionghoa ini diamini pula oleh Rohmat (65). Sudah tiga tahun berturut-turut pedagang bacang keliling ini selalu Salat Jumat di Masjid Lautze 2. Bila adzan sudah memanggil ia akan segera bergerak dari tempat mangkalnya di Puskesmas Tamblong menuju Lautze, memarkir gerobaknya di tepi jalan, lalu menunaikan salat. “Ah, kalau Salat Jumat di sini mah hampir tidak ada orang Chinanya. Kalau pun ada paling satu dua,” kata Rohmat.

Sebetulnya, misi utama pendirian Masjid Lautze 2 adalah untuk memfasilitasi golongan non-muslim yang ingin mengenal Islam lebih jauh, khususnya bagi etnis Tionghoa. Namun tidak berarti lokasi masjid harus berada di daerah Pecinan. “Kami di sini ingin berbaur. Selain itu, dasar pemikiran kami mendirikan Lautze 2 di sini adalah karena di daerah ini tidak ada masjid. Kami ingin memfasilitasi para karyawan yang bekerja di sekitar sini,” kata Jesslyn. Dalam perkembangannya, jamaah masjid ini kebanyakan berasal dari RW 06, yakni warga yang tinggal di sekitar Braga. Kecintaan warga sekitar terhadap Lautze 2 tercermin saat dahulu masjid ini masih berstatus sewa. Untuk membiayai sewa dan pemeliharaan masjid, warga sekitar sampai rela mengumpulkan kencleng agar Lautze 2 tetap bertahan di sini.

Keberadaan Lautze 2 ternyata memang mengundang antusiasme masyarakat non-muslim yang ingin mengetahui lebih jauh tentang Islam. Beberapa dari mereka tak segan berkunjung untuk memuaskan keingintahuannya. “Mungkin mereka merasa familiar dengan kondisi masjid yang serba merah, juga dengan pengurus masjid yang merupakan keturunan Tionghoa, sehingga mereka merasa nyaman. Kami di sini juga berusaha sebaik-baiknya untuk menjawab pertanyaan dan keingintahuan mereka. Dulu banyak yang sering tanya soal kaitan Islam dengan teror bom. Kalau pertanyaan ringannya, biasanya sih yang menyangkut perayaan Imlek, seperti apakah di Lautze 2 ada perayaan. Sebetulnya, di sini kami tidak memiliki agenda khusus. Cuma kalau pas imlek, kami sering bercanda soal pembagian angpau saja,” ujar dia sambil tertawa. 

Dari orang-orang yang berkunjung ke Lautze 2, ada yang kemudian memutuskan untuk menjadi mualaf, meski jumlahnya tak banyak. Sebagian lainnya menjadi pengunjung tetap yang datang lagi dan lagi. Tiap bulannya, Masjid Lautze 2 memfasilitasi rata-rata dua hingga tiga orang untuk menjadi mualaf. Namun menurut Jesslyn, dalam prosesi ini Lautze 2 tidak akan serta merta memberikan sertifikat Islam kepada para mualaf. “Kami tidak ingin sertifikat tersebut disalahgunakan, seperti untuk meminta-minta bantuan. Oleh karena itu, kami akan menahan dulu sertifikat tersebut sekitar empat bulan. Setelah melewati masa pembinaan dan sang mualaf dinilai sudah cukup kuat untuk berdiri sendiri, iman dan Islamnya sudah tak lagi goyah, barulah kami berikan sertifikatnya,” ujar Jesslyn.

Pengurus Lautze 2 berpesan kepada siapa pun yang berniat melihat Lautze 2 dari dekat, sekaligus berkunjung, tak usah ragu. Selama memiliki niat yang baik atau ingin beribadah, semua orang akan diterima. Jika pintu kaca Lautze 2 tertutup, tak usah ragu untuk membukanya, selama waktu belum menunjukkan pukul 17.00. Terkecuali pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada bulan Ramadhan, Lautze 2 selalu menyelenggarakan Salat Tarawih berjamaah, sehingga dibuka hingga malam. Jika sehari-harinya pintu kaca selalu tertutup, itu dikarenakan masjid ini berada di pinggir jalan utama. “Kalau tidak ditutup, takutnya suara bising dari jalan mengganggu jamaah yang sedang salat. Selain itu, debu juga gampang sekali masuk,” kata Jesslyn. Jadi jangan khawatir, tak perlu berkulit putih, bermata sipit atau berbaju merah untuk diterima di sini. Selama bertujuan baik, semua orang dipersilakan untuk berkunjung.   

Masjid Lautze 2
Alamat  
Jalan Tamblong 27 Bandung
Email
Tahun berdiri
1997
Di bawah naungan
Yayasan Haji Karim Oei (YHKO) yang berpusat di Jakarta
Tujuan pembangunan
Masjid kedua yang dibangun YHKO ini merupakan pusat informasi tentang Islam bagi etnis Tionghoa dan golongan non Muslim lainnya.
Jam buka
09.00 – 17.00
Luas
Kurang lebih 42 m2
Kapasitas
50 orang jamaah
Ketua DKM 2010
Ku Khie Fung (Fung Fung)


23 Oktober 2010




15.3.17

Pasar Buku dan Majalah Bekas Cikapundung

Belajar tak selalu harus mahal. Hanya perlu pandai memilah dan memilih, pengetahuan bisa didapat meski budget pas-pasan. Salah satu tempat yang menyediakan sumber pengetahuan dengan harga miring di Kota Bandung adalah pasar buku dan majalah yang berlokasi di Cikapundung Barat. Bagi para kolektor, pasar ini bisa terasa seperti surga. Aneka majalah yang baru lewat beberapa bulan terampar di sepanjang trotoar dalam keadaan yang masih mulus. Tak hanya majalah berbahasa Indonesia, majalah ‘luar’ pun tersedia di sini, seperti “National Geographic”, “Rolling Stone” dan beragam majalah lain, termasuk majalah mode.  

Eksistensi ‘Cikapundung Barat’ sudah terhitung puluhan tahun. Menurut cerita salah seorang pedagang yang bernama Zainudin (40), pasar buku ini sudah ada sejak tahun 1970-an. Awalnya selain di Cikapundung Barat, para pedagang juga berjualan di trotoar Jalan Asia Afrika. Kemudian para pedagang di Asia Afrika pindah ke Jalan Banceuy. Kemudian tahun 1980-an lapak di Jalan Banceuy yang mayoritas dihuni pedagang buku, tergusur dengan pembangunan Matahari Department Store. Para pedagang buku itu pun akhirnya sebagian pindah ke Jalan Palasari.

Para pedagang yang kini masih bertahan umumnya adalah para penerus para pedagang terdahulu, contohnya Zainudin. Awalnya ia hanya menjadi pegawai salah satu pemilik lapak yang masih terhitung famili, hingga kemudian ia menjadi penerus usaha sang pemilik awal. Demikian pula Zaenal (30), sebelas tahun yang lalu ia melanjutkan usaha rekannya yang sudah jenuh berbisnis majalah.

Meski berjualan di kaki lima, Pasar Buku dan Majalah Cikapundung ini legal dan terorganisir. Jadi para pedagang tak perlu main kucing-kucingan atau harus berkejaran dengan petugas Polisi Pamong Praja. Bahkan menurut Zaenal, para pedagang di Cikapundung Barat ini juga berhubungan baik dengan PT PLN. Sudah puluhan tahun PLN mengijinkan dinding luar kantornya digunakan sebagai tempat bersandar para pedagang. Tak hanya itu, tiap bulan Ramadhan, para pedagang juga diundang untuk buka bersama oleh PT PLN. Menjelang Idul Fitri mereka biasanya akan mendapatkan bingkisan. Sementara tiap Idul Adha, PLN menyediakan daging kurban khusus bagi para pedagang buku dan majalah. Sebagai bentuk timbal balik, para pedagang tertib menjaga kebersihan. Secara rutin mereka bergiliran membersihkan area yang digunakan untuk berjualan.

Selain amparan buku dan majalah di trotoar, ada pemandangan khas lain dari kawasan ini, yaitu deretan gerobak berwarna biru bertuliskan Kopanti Kota Bandung yang terparkir rapi di sisi trotoar. Gerobak-gerobak ini digunakan sebagai tempat untuk menyimpan buku dan majalah yang didagangkan. Usai berjualan, para pedagang akan memasukkan barang-barangnya ke dalam gerobak, lalu membawa gerobak tersebut ke tempat penyimpanan di Jalan Belakang Factory yang terletak tak jauh dari Cikapundung Barat.

Jika diamati jenis buku atau majalah yang dipajang para pedagang di kawasan ini relatif seragam. Namun tiap pedagang cenderung memiliki edisi yang berbeda satu sama lain. Umumnya edisi yang ditawarkan adalah edisi beberapa bulan lalu. Semakin baru edisinya, maka harganya pun akan lebih mahal dibandingkan dengan edisi yang lebih lama. “Biasanya kami menawarkan majalah dengan harga 60-70 persen dari banderol, tetapi di sini bebas tawar-menawar,” ujar Zaenal. Menurut dia, jenis majalah yang banyak dicari oleh para mahasiswa adalah majalah tentang arsitektur, desain grafis, interior dan taman. Para pelajar lebih sering mencari majalah berbahasa Sunda, untuk tugas sekolah. Sedangkan kalangan umum banyak yang berminat pada majalah luar negeri. “Untuk majalah arsitekur, kalau beli di tempat lain cuma dapat satu, di sini bisa dapat tiga. Tapi untuk majalah-majalah arsitektur yang tebal, harganya bisa sampai Rp 100.000. Kalau yang biasa-biasa sih satu eksemplarnya sekitar Rp 30 hingga 40 ribu,” jelas dia. Sementara jenis majalah yang relatif stabil peminatnya adalah jenis majalah otomotif dan musik. “Di sini kami sedia banyak majalah yang berkaitan dengan hobi. Biasanya yang paling lama edisi lima tahun ke belakang. Kecuali untuk majalah tertentu ada yang masih suka cari edisi tahun delapan puluhan. Kalau majalah berita gitu di sini kami jarang yang jual,” kata Zaenal.

Meskipun koleksi majalah di pasar ini relatif lengkap dan beragam, ‘perburuan’ di kawasan ini memerlukan kesabaran dan keberuntungan, karena tidak selamanya barang yang kita inginkan tersedia. Zaenal pun mengamini hal ini, “Kami tidak bisa janji memenuhi semua pesanan, kadang ada saja edisi yang sulit dicari.” Zaenal mengaku biasanya mendapat pasokan barang dari kolektor atau pelanggan majalah. Dalam transaksi, barang yang dibeli dari perorangan dapat dihitung satuan atau kiloan. Namun ia tak hanya mengandalkan penjualan dari perorangan, ia juga kerap berburu barang untuk didagangkan di Pasar Senen Jakarta.

Para pedagang di sini memang menjual jenis majalah yang relatif seragam, tetapi menurut Zaenal para pedagang di sini cenderung berdagang dalam iklim kekeluargaan. Tak kentara persaingan antara satu pedagang dengan yang lain, justru mereka akan saling membantu. Saat ada pembeli yang menanyakan satu edisi tertentu yang tidak dimiliki oleh seorang penjual, biasanya sang penjual akan sukarela mencarikan edisi yang dimaksud ke rekan sesama pedagang. Kebersamaan yang sudah terjalin selama bertahun-tahun membuat para pedagang di Cikapundung Barat memiliki rasa persaudaraan yang tinggi. Malahan jika ada seorang pedagang yang harus meninggalkan lapaknya untuk mengantar keluarga atau kerabat yang sakit, ia dapat mempercayakan barang dagangannya kepada rekannya.

Layaknya dalam tiap perdagangan ada masa merugi dan masa ‘panen’. Namun mengenai hal  ini Zaenal punya pandangan sendiri. Ia merasa nyaris tak pernah merugi. “Jualan majalah kan beda sama jualan makanan. Kalau makanan enggak laku, terus basi kan dibuang. Kalau jualan majalah begini, enggak laku, masih bisa dikilo. Satu hal yang harus diantisipasi oleh para pedagang supaya tidak merugi adalah hujan. Jika barang dagangan sampai basah karena hujan, maka menjadi nyaris tak bernilai lagi. Oleh karena itu, biasanya mereka membungkus ulang majalah-majalah tersebut menggunakan plastik. Pembeli tetap diperkenakan mengintip dahulu isi majalah sebelum membeli. Namun untuk majalah-majalah yang masih benar-benar berada dalam kondisi ‘gres’, yakni yang sudah terbit beberapa bulan lalu, tetapi belum pernah dibuka dan dibaca, maka pembeli hanya diijinkan untuk meneliti judul-judul pada sampul saja.

Menurut Zainudin, sebenarnya sekarang tingkat penjualan buku dan majalah tak lagi setinggi era 1990-an. Ia mengaku kini omzet lapaknya per hari sekitar Rp 100.000 saja. Itu pun tak menentu. “Jika ada langganan yang pesan, baru omzet bisa mencapai Rp 300.000,” kata dia. Namun seperti bisnis lainnya, para pedagang buku dan majalah ini juga memiliki masa laris manis. Pada hari Sabtu dan Minggu, lahan parkir Cikapundung Barat lebih leluasa untuk digunakan pengunjung, karena para pegawai PLN libur. Kesempatan ini digunakan para pelancong dari luar kota yang umumnya orang Jakarta menyerbu Cikapundung Barat. Hal ini agak unik, mengingat Jakarta mempunyai Pasar Senen. Namun menurut Zaenal, kawasan ini tetap diserbu, karena belum tentu barang yang ada di sini ada di Jakarta.

(Done Writing, 22 Oktober 2010)

Pasar Buku dan Majalah Cikapundung

Alamat
Jalan Cikapundung Barat
Jumlah lapak
Sekitar 20
Barang yang dijual
Buku dan majalah
Waktu operasional
Rata-rata 9.00-17.00
Pengelola
Kopanti Kota Bandung, Jl. Nias Dalem No, 8A
Rentang harga
Mulai dari Rp 5.000

4.10.14

Memoar Redaksi SH 147

Pagi ini, tepat pukul 9.00 pagi, saat alarm blackberry berbunyi..
Mematikan alarm, memeriksa recent update BBM, yang terlihat di timeline adalah update sebuah gedung terbakar. Gedung yang sangat saya kenali, tempat menghabiskan waktu minimal 8 jam sehari untuk berfikir, berkreasi, berargumentasi dan melaksanakan misi untuk mencapai visi bersama tim, kala itu.. masa itu.. 


Redaksi luluh lantak (detik.com)

Hari, bulan, tahun berganti. Banyak yang datang dan banyak yang pergi. Sore ini menggali kembali memori yang masih tersimpan dalam bentuk kisah dan dokumentasi digital, pada kurun waktu yang kami habiskan bersama-sama di gedung yang penuh kenangan. 

Redaksi Pikiran Rakyat, Soekarno-Hatta 147 (2007-2012)

Semoga gambar-gambar ini mengingatkan bahwa ruangan-ruangan ini pernah ada. Pernah ada semangat dan kerja keras di sana. Semangat dan kerja keras yang belum berbuah luar biasa, tapi sudah cukup menjadi landasan, untuk siapa pun yang masih ada di sana untuk bangkit lagi. 


(April 2008) Di belakang kami, gedung Redaksi yang pagi ini luluh lantak oleh api.


(September 2008) Ruangan pertama tim riset angkatan 2007 (formasi lengkap) di lt.2. Kini, ruangan ini pun sudah habis dilalap api. 


(2009) Dari 6, 4 yang bertahan. Dari ruangan di lt.2 kami pindah ke lt.1 dan berbagi ruangan dengan Desk Bahasa. Beradaptasi dengan perubahan. 

(2010) Masih berdampingan dengan Desk Bahasa.

(2011) Masih berdampingan dengan Desk Bahasa.

2011 - Perayaan HUT salah seorang Staf PDR. Tampak di ruangan kaca yang menjadi latar foto, bundel-bundel koran "PR" yang diarsipkan sejak puluhan tahun lalu. 
 


(2011) Salah satu sudut ruang dokumentasi. Tempat arsip analog (koran) dan digital tersimpan rapi di lt. 1, tepatnya di bagian belakang gedung utama redaksi.
Di tahun yang sama (2011), akhirnya kami (tim riset) pindah ke lantai II.


(2011) Projek pertama kami setelah pindah ruangan. Bongkar arsip berita Maung Bandung.
Masih mengumpulkan kepingan yang terserak...