Pages

9.7.08

Try Sutrisno

Masa Kecil dalam Revolusi

Try Sutrisno dilahirkan pada tanggal 15 November 1935, hampir sepuluh tahun sebelum Indonesia merdeka. Peperangan dan pengungsian dalam masa revolusi adalah hal yang akrab dengan dirinya. Saat pasukan sekutu menduduki Surabaya tahun 1946 hingga 1948, rakyat terpaksa mengungsi keluar kota. Hal ini dikarenakan kekuatan Sekutu saat itu tidaklah sebanding dengan para pejuang Indonesia. Oleh karena itu para pejuang memilih untuk mundur dan bergerilya.

Dalam kondisi genting tersebut, keluarga Try memutuskan untuk mengungsi ke Mojokerto. Dalam pengungsian Subandi, ayah Try Sutrisno, bergabung dengan Bagian Kesehatan Batalyon Poncowati di Purwoasri, Kediri.

Saat itu Try yang baru berusia 11 tahun, terpaksa berhenti sekolah dan membantu mencari nafkah dengan cara berjualan air minum, koran, juga rokok di Stasiun Mojokerto. Di masa revolusi ini juga Try mulai aktif mendukung perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sulitnya kehidupan di masa itu membuat Try kelak tumbuh menjadi pribadi yang tangguh.

***

Jejak Karir Sang Jenderal

Pria tinggi besar dan berwajah tampan ini memulai karir militer secara “tidak resmi” sebagai Tobang (pesuruh) di Batalyon Poncowati saat usianya 13 tahun. Setelah itu ia menjadi kurir sekaligus anggota Penyelidik Dalam (PD) yang bertugas mencari informasi ke daerah pendudukan Belanda. Ia pun kemudian menyampaikan informasi tersebut kepada para pejuang sambil mengantarkan perbekalan dan obat-obatan.

Selepas SMA Try sangat ingin menjadi tentara. Ia pun mendaftarkan diri ke Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad). Ia lulus dalam tes akademi namun gagal dalam tes kesehatan. Namun akhirnya ia mendapat panggilan kembali dan dikirim ke Bandung untuk mengikuti psikotes. Try kemudian diterima sebagai Taruna Akademi Genie yang kemudian berubah nama menjadi Atekad. Selama masa pendidikan ia pernah dikirim ke Aceh dan Sumatera Barat, daerah Operasi Penumpasan Pemberontakan PRRI/Permesta.

Lulus dari Atekad perwira ini pun dikirim untuk bertugas ke berbagai daerah, antara lain Sumatera Selatan dan Bandung. Di Bandung ia bertemu dengan seorang gadis bernama Tuti Sutiawati. Di usianya yang ke 26, pada tanggal 5 Februari 1961 ia memutuskan untuk menikah dengan gadis pujaannya. Dari pernikahannya, Try dikaruniai empat orang putra dan tiga orang putri. Salah seorang putranya kemudian mengikuti jejaknya menjadi anggota TNI AD. Sedangkan seorang putrinya bersuamikan Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu, yang pernah menjabat sebagai Kasad.

Pada tahun 1974 Try Sutrisno ditugaskan sebagai Ajudan Presiden RI Soeharto. Setelah menunaikan tugas sebagai ajudan, Try kemudian bertugas di Denpasar, sebagai Kasdam XVI/Udayana. Selanjutnya ia diangkat menjadi Pangdam IV/Sriwijaya dan menggelar Operasi Ganeca, yang bertujuan mengembalikan gajah-gajah liar ke habitatnya. Ia pun melakukan operasi untuk memberantas penyelundupan timah dan kriminalitas yang marak saat itu. Tahun 1980 saat masih menjabat sebagai Pangdam, ia diangkat menjadi anggota MPR RI Utusan Daerah Sumatera Selatan.

Tahun 1982 hingga 1985 Try menjabat sebagai PangdamV/Jaya. Di masa kepemimpinannya meletus peristiwa Tanjung Priok, terbakarnya Toserba Sarinah dan peristiwa peledakan bom di sebuah kantor cabang Bank BCA. Kasus Tanjung Priok yang menewaskan puluhan orang (versi pemerintah) dan ratusan orang (versi korban) memang akhirnya berhasil diredam. Namun belakangan, gugatan dari korban kasus Tanjung Priok terus bergulir. Masih banyak pihak yang menuntut keadilan dari peristiwa yang dianggap pelanggaran HAM pada masa rezim Orde Baru tersebut.

Karir Try terus melesat, pada bulan Agustus 1985 ia dilantik menjadi Wakasad dan pangkatnya naik menjadi Letjen TNI. Belum genap setahun, pada bulan Juni 1986 ia menggantikan posisi Jenderal TNI Rudhini sebagai Kasad. Try mencapai puncak karir militer saat menjabat sebagai pemimpin ABRI sejak tahun 1988 hingga 1993. Terjadi beberapa peristiwa penting yang berkaitan dengan gangguan keamanan di masa kepemimpinannya, antara lain Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) Aceh tahun 1989, peristiwa Talangsari Lampung tahun 1990, dan peristiwa Santa Cruz tahun 1991 yang dilakukan gerombolan GPK Timtim (Fretilin). Gerakan-gerakan ini umumnya dapat diatasi walaupun tetap menjadi polemik di kemudian hari dengan isu pelanggaran HAM.

Mantan Pangab ini merasa masih memiliki “hutang” terhadap Angkatan Bersenjata. Di masa kepemimpinannya ia tidak sempat melengkapi dan mengganti alat utama sistem persenjataan ABRI yang sebagian besar sudah sangat ketinggalan zaman, juga meningkatkan kesejahteraan prajurit seperti makan, perlengkapan perorangan, dan perumahan. Hal ini dikarenakan, pada tahun 1993 Try Sutrisno dicalonkan sebagai Wapres RI.

***

Sentuhan Try pada PBSI

Pria berwajah tampan yang disebut-sebut mirip Elvis Presley ini memiliki tubuh atletis dan gemar berolahraga. Bersepeda, silat, karate, angkat besi, golf, renang , jogging dan senam adalah jenis-jenis olahraga yang digemarinya. Meskipun bulutangkis pada awalnya bukan olahraga kegemaran sang jenderal, namun kehadiran Try sebagai pemimpin Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) mampu memberikan angin sejuk.

Try Sutrisno yang akrab dipanggil Cak Su ini terpilih untuk pertama kali sebagai Ketua Umum PB PBSI pada Munas XIV di Surabaya, pada tanggal 24 September 1985. Di awal masa kepemimpinannya, Try menghadapi kondisi yang cukup sulit. Prestasi atlet bulutangkis Indonesia kala itu turun naik dan terdapat kesenjangan antara kemampuan pemain senior dan junior. Namun Try tetap optimistis dan tetap berpegang pada prinsip-prinsipnya untuk dapat berprestasi, seperti memiliki motivasi juang yang tinggi, latihan yang kontinyu, dan disiplin dalam setiap pelaksanaan harus tetap dipegang teguh pada saat akan main, sewaktu main, dan setelah main.

Cak Su terpilih kembali sebagai ketua PBSI berdasarkan Munas XV tanggal 16-18 Desember 1989 di Manado, Sulawesi Utara untuk masa bakti 1989-1993. Dalam periode kepemimpinannya yang kedua inilah tim bulutangkis Indonesia mencetak prestasi yang luar biasa. Meskipun belum mampu mempertahankan piala Thomas dan merebut Piala Uber, Indonesia untuk pertama kalinya meraih medali emas di Olimpiade Barcelona (1992). Dua medali emas, dua perak, dan satu perunggu dipersembahkan oleh Susi Susanti, Allan Budikusuma, Ardy B. Wiranata, Eddy "Kempong" Hartono Arbi/ Rudy Gunawan dan Hermawan Susanto.

***

Mengabdi Sampai Akhir

Menjadi Wakil Presiden atau orang nomor dua di negara ini dapat dikatakan sebagai puncak dari perjalanan panjang karir Try Sutrisno. Majelis Permusyawaratan Rakyat memilihnya untuk mendampingi HM. Soeharto untuk masa bakti 1993 hingga 1998. Ia tercatat sebagai Wapres RI yang keenam. Saat itu ia dicalonkan oleh Fraksi ABRI MPR-RI dan didukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Terpilihnya Try saat itu sebenarnya diluar kelaziman zaman Orde Baru, karena ia diduga bukan orang pilihan Soeharto. Namun ia tetap berusaha menjalankan kewajibannya sebaik-baiknya.


Janji Try Sutrisno dalam pidato pelantikannya adalah membantu tugas-tugas Presiden RI seoptimal mungkin sesuai dengan ketentuan konstitusi dan arahan Presiden. Selama menjabat sebagai Wakil Presiden ia fokus pada bidang pengawasan dan penyelenggaraan pembangunan dan pemerintahan. Sewaktu masih memiliki jabatan strategis dan sangat dekat dengan pusat kekuasaan, Try tetap menjaga jarak dan tidak mengambil keuntungan pribadi lantaran jabatan dan kedekatannya. Try hanya bertindak dalam batas-batas tanggung jawabnya.

Tepat setelah menjabat selama satu periode ia lengser dari posisi Wakil Presiden. Namun pengabdiannya pada negeri ini tak berhenti begitu saja. Ia tetap aktif dalam berbagai organisasi, namun menyatakan secara tegas bahwa ia tidak ingin lagi dicalonkan sebagai presiden, meskipun masih banyak pihak yang menginginkannya untuk tampil. Ia merasa sudah terlalu tua untuk hal seperti itu.

Pepabri, Lembaga Persahabatan Indonesia-Malaysia (PRIMA), pembina perkumpulan keagamaan “Spiritual Journeyff”, penasehat Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman yang bergerak di bidang pendidikan, yang membawahi UPN, Veteran dan SMU Taruna Nusantara adalah beberapa organisasi yang pernah dipimpinnya setelah lengser. Sejak reformasi bergulir, ia pun dikenal juga sebagai salah seorang Penasehat dan Sesepuh Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). "Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya” adalah wadah bagi Try untuk menuangkan sumbangan pemikiran dan aspirasinya.

Kesetiaan Try rupanya tak hanya bagi bangsa dan negara Indonesia. Hal yang sama ia tunjukkan pula pada mantan atasannya mendiang Soeharto. Meski tak dipilih sebagai Wapres untuk kedua kalinya, karena Soeharto lebih menghendaki Habibie, Try tetap membina hubungan baik dengan mantan atasannya itu. Bahkan ia tetap memberikan dukungan moral saat Sang Jenderal Besar lengser dari jabatannya tahun 1998 dan “ditinggalkan” oleh pembantu-pembantunya.

(Syafrezani/dari berbagai sumber)

Pieters Park (Taman Merdeka)

Pieters Park atau yang kini dikenal dengan Taman Merdeka atau Taman Dewi Sartika ini adalah taman yang pertama kali dibangun di kota Bandung. Taman ini didirikan tahun 1885, setelah pengurus organisasi Vereeniging tot Nut van Bandoeng en Omstreken yang merupakan cikal bakal perkumpulan Bandung Vooruit memutuskan untuk membangun sebuah taman untuk mengenang jasa Asisten Residen Pieter Sijthoff, peletak dasar pembangunan Kota Bandung.

Taman dengan luas 14.720 m2 ini dibangun oleh Dr. R. Teuscher. Ia adalah seorang botanikus yang tinggal di pojok Jl. Tamblong. Ia ditunjuk untuk membangun sebuah taman peringatan di depan Gedong Papak (Balaikota Bandung) yang saat itu menjadi kediaman resmi Asisten Residen Priangan.

Bentuk Pieters Park tidaklah istimewa. Lahan taman datar, nyaris berbentuk bujur sangkar. Jaringan dalam taman berbentuk huruf “Y”. Sebuah banguan berbentuk bulat terletak di tengah taman, dan digunakan sebagai tempat berteduh atau memainkan Orkes Musik. Bangunan bulat ini sering disebut sebagai Gazebo atau Belvedere.

Kadang kala dalam Gazebo, sebuah “Brass Band” militer atau dari Regu Pemadam Kebakaran memainkan musik senja, menjelang malam Minggu. Taman ini juga sering digunakan sebagai tempat berkumpulnya tentara yang akan melakukan Taptoe atau pawai obor keliling kota.

Pieters Park dikelilingi beberapa bangunan sekolah, sehingga pada siang hari, dijadikan tempat istirahat para pelajar, sambil menghafal bahan pelajaran. Dahulu, taman ini dikenal dengan nama “Kebon Raja”, mengambil nama “Sakola Raja” atau Kweekschool (Sekolah Guru) yang bangunannya kini ditempati kantor polisi di Jl. Merdeka.

Kesuburan lahan Pieters Park didukung oleh kanal yang sengaja digali dari Sungai Cikapayang, yang hulunya terletak di Taman Sari atas (lembah Cikapundung, belakang Kebun Binatang). Jenis tanaman yang dibudidayakan di Pieters Park Dahulu taman itu dikelilingi oleh saluran kanal. Untuk memasuki taman, tiga jembatan besi dibangun melintasi kanal tersebut. Sepanjang kanal yang membatasi taman dengan pekarangan Balai Kota, sekarang berdiri patung badak, sederetan rumpun pohon Ki Angsret atau Cucurutan alias pohon Sepatu-Dua yang berbunga oranye. oleh botanikus R. Teuscher antara lain pohon kenari sebagai tanaman lindung, pembatas keliling taman.

Pohon peneduh dalam taman meliputi Ki Hujan atau Regenboom, Johar, Ki Damar, dan Indische goudenregen atau Bubundelan. Di taman itu terdapat pula pohon-pohon Cemara Laut, Aren, Pinang Merah, Tanjung, Bungur dan rumpun bambu, yang kini tak ada lagi. Rumpun gazon yang ditanam dalam taman itu adalah dari jenis Cynodon dan rumput Kemarau Indah (Polytrias).

Sebagai taman terbuka, maka hiasan bunga yang ditanam di Pieters Park, mengambil jenis tanaman agak besar dan berumur panjang seperti Sedap Malam atau Arum Dalu, Kembang Merak, Pacar Cina, Kemuning, Ki Soka, dan Kacapiring. Selain tanaman bunga, masih banyak tanaman perdu, penghias taman itu.

Nama taman ini berubah menjadi Taman Merdeka pada tahun 1950-an. Pada tanggal 4 Desember 1996, di taman ini ditempatkan patung Pahlawan Nasional Dewi Sartika. Nama taman ini pun kemudian diubah menjadi Taman Dewi Sartika.

Kini sebagian lahan di Taman Merdeka digunakan sebagai tempat parkir kantor Pemerintah Kota Bandung. Namun beberapa pohon berusia puluhan hingga ratusan tahun, masih tetap berdiri dan lestari.

(Syafrezani/dari berbagai sumber)

20.6.08

Taman Kota Peninggalan Belanda

“Kota Taman” atau Tuinstad itulah konsep pembangunan yang diterapkan Pemerintah Belanda di kota Bandung pada masa penjajahan. Pemerintah Belanda saat itu ingin menjadikan Bandung sebagai salah satu kota khusus bagi masyarakat Eropa. Sehingga pada awalnya, pembangunan yang dilaksanakan di Kota Bandoeng (Bandung) saat itu sangat berbau Eropa. Seperti memindahkan Paris atau Amsterdam ke Pulau Jawa.

Namun usaha ini kelak mendapat tentangan dari maestro arsitek Belanda, Hendrik Petrus Berlage yang datang ke Kota Bandung pada tahun 1923. Ia mengkritik bentuk bangunan di Nusantara yang tidak menonjolkan ciri aksen tropis. Kritik Berlage mendapat sambutan dari perkumpulan “Bandoeng Vooruit”, yang awalnya lahir dari organisasi Vereeniging tot Nut van Bandoeng en Omstreken. Organisasi ini adalah wadah bagi masyarakat Belanda yang ada di Bandung untuk bermusyawarah.

Ahli-ahli taman perkumpulan “Bandoeng Vooruit” yang terdiri dari Dr. R. Teuscher, Dr. W. Docters van Leeuwen dan Dr. L. Van der Pijl, kemudian bersama-sama mencari desain taman tropis untuk kota Bandung. Konsep taman tropis yang digagas oleh “Bandoeng Vooruit” saat itu adalah konsep taman terbuka yang bebas dikunjungi oleh warga kota. Taman kala itu harus bisa menjadi wahana efektif guna mengakrabkan kehidupan warga kota dengan alam. Taman terbuka dapat digunakan untuk rekreasi, tempat penelitian, pengenalan jenis flora tropis maupun untuk studi tentang siklus alam.

Untuk maksud ini, perkumpulan “Bandung Vooruit” selama tahun 1930-1935 berusaha mengubah taman-taman di Kota Bandung menjadi Mini Botanical Garden. Untuk menuliskan keterangan nama jenis tumbuhan dalam Bahasa Latin, Sunda dan Melayu (Indonesia), digunakan plat alumunium.

Berdasarkan istilah Belanda saat itu, taman (park) dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain park, plein, plantsoen, stadstuin, dan boulevard. Park adalah sebidang tanah yang dipagari sekelilingnya, ditata secara teratur dan artistik, ditanami pohon lindung, tanaman hias, rumput dan berbagai jenis tanaman bunga. Selain itu dilengkapi pula jaringan jalan (lorong), bangku tempat duduk, lampu penerangan yang berseni. Kadang kala taman juga dilengkapi dengan kolam ikan dan teratai, tempat berteduh yang sering disebut “Gazebo” atau “Belvedere”, kandang binatang atau unggas dan saluran air yang teratur.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa makna taman bagi kota Bandung, tak hanya sebagai paru-paru kota atau Ruang Terbuka Hijau (RTH). Banyak catatan sejarah yang dapat digali dari proses pembangunan dan perubahan yang terjadi di taman-taman di kota Bandung.

Kini taman termasuk dalam salah satu kategori Ruang Terbuka Hujau (RTH), yang dapat diartikan sebagai ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang berbentuk kawasan atau area memanjang. Penggunaannya bersifat terbuka dan intinya tanpa bangunan. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 luas minimal RTH adalah 20% dari luas kawasan perkotaan. Jadi Kota Bandung yang memiliki luas 16.729,65 Ha idealnya memiliki luas RTH 3.345,93 Ha. Namun hingga tahun 2007, Bandung baru memiliki RTH sekitar 8,76% dari luas wilayahnya, atau baru sekitar 1.465,52 Ha. Luas ini tentunya masih jauh dari luas minimal RTH yang harus dimiliki oleh Kota Bandung. Oleh karena itu idealnya kota ini tidak lagi kehilangan area yang diperuntukkan bagi RTH, namun justru harus menambah luas RTH setiap tahunnya.

Terdapat 23 kategori bagi Ruang Terbuka Hijau (RTH). Taman kota, taman hutan raya dan kebun binatang adalah beberapa contoh kategori RTH yang dimiliki kota Bandung. Beberapa taman (park) kota Bandung yang merupakan peninggalan pemerintah Belanda dan masih dapat kita lihat sampai saat ini adalah Ijzermanpark (Taman Ganeca), Molukkenpark (Taman Maluku), Pieter Sijthoffpark (Taman Merdeka), Insulindepark(Taman Nusantara/Taman Lalu Lintas), dan Jubileumpark (Taman Sari atau Kebon Binatang). Sekitar tahun 1950-an, Presiden Soekarno melarang rakyat menggunakan Bahasa Belanda. Taman-taman kota peninggalan Belanda ini pun diubah namanya ke dalam Bahasa Indonesia.

(Syafrezani/dari berbagai sumber)