Pages

20.6.08

Taman Kota Peninggalan Belanda

“Kota Taman” atau Tuinstad itulah konsep pembangunan yang diterapkan Pemerintah Belanda di kota Bandung pada masa penjajahan. Pemerintah Belanda saat itu ingin menjadikan Bandung sebagai salah satu kota khusus bagi masyarakat Eropa. Sehingga pada awalnya, pembangunan yang dilaksanakan di Kota Bandoeng (Bandung) saat itu sangat berbau Eropa. Seperti memindahkan Paris atau Amsterdam ke Pulau Jawa.

Namun usaha ini kelak mendapat tentangan dari maestro arsitek Belanda, Hendrik Petrus Berlage yang datang ke Kota Bandung pada tahun 1923. Ia mengkritik bentuk bangunan di Nusantara yang tidak menonjolkan ciri aksen tropis. Kritik Berlage mendapat sambutan dari perkumpulan “Bandoeng Vooruit”, yang awalnya lahir dari organisasi Vereeniging tot Nut van Bandoeng en Omstreken. Organisasi ini adalah wadah bagi masyarakat Belanda yang ada di Bandung untuk bermusyawarah.

Ahli-ahli taman perkumpulan “Bandoeng Vooruit” yang terdiri dari Dr. R. Teuscher, Dr. W. Docters van Leeuwen dan Dr. L. Van der Pijl, kemudian bersama-sama mencari desain taman tropis untuk kota Bandung. Konsep taman tropis yang digagas oleh “Bandoeng Vooruit” saat itu adalah konsep taman terbuka yang bebas dikunjungi oleh warga kota. Taman kala itu harus bisa menjadi wahana efektif guna mengakrabkan kehidupan warga kota dengan alam. Taman terbuka dapat digunakan untuk rekreasi, tempat penelitian, pengenalan jenis flora tropis maupun untuk studi tentang siklus alam.

Untuk maksud ini, perkumpulan “Bandung Vooruit” selama tahun 1930-1935 berusaha mengubah taman-taman di Kota Bandung menjadi Mini Botanical Garden. Untuk menuliskan keterangan nama jenis tumbuhan dalam Bahasa Latin, Sunda dan Melayu (Indonesia), digunakan plat alumunium.

Berdasarkan istilah Belanda saat itu, taman (park) dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain park, plein, plantsoen, stadstuin, dan boulevard. Park adalah sebidang tanah yang dipagari sekelilingnya, ditata secara teratur dan artistik, ditanami pohon lindung, tanaman hias, rumput dan berbagai jenis tanaman bunga. Selain itu dilengkapi pula jaringan jalan (lorong), bangku tempat duduk, lampu penerangan yang berseni. Kadang kala taman juga dilengkapi dengan kolam ikan dan teratai, tempat berteduh yang sering disebut “Gazebo” atau “Belvedere”, kandang binatang atau unggas dan saluran air yang teratur.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa makna taman bagi kota Bandung, tak hanya sebagai paru-paru kota atau Ruang Terbuka Hijau (RTH). Banyak catatan sejarah yang dapat digali dari proses pembangunan dan perubahan yang terjadi di taman-taman di kota Bandung.

Kini taman termasuk dalam salah satu kategori Ruang Terbuka Hujau (RTH), yang dapat diartikan sebagai ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang berbentuk kawasan atau area memanjang. Penggunaannya bersifat terbuka dan intinya tanpa bangunan. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 luas minimal RTH adalah 20% dari luas kawasan perkotaan. Jadi Kota Bandung yang memiliki luas 16.729,65 Ha idealnya memiliki luas RTH 3.345,93 Ha. Namun hingga tahun 2007, Bandung baru memiliki RTH sekitar 8,76% dari luas wilayahnya, atau baru sekitar 1.465,52 Ha. Luas ini tentunya masih jauh dari luas minimal RTH yang harus dimiliki oleh Kota Bandung. Oleh karena itu idealnya kota ini tidak lagi kehilangan area yang diperuntukkan bagi RTH, namun justru harus menambah luas RTH setiap tahunnya.

Terdapat 23 kategori bagi Ruang Terbuka Hijau (RTH). Taman kota, taman hutan raya dan kebun binatang adalah beberapa contoh kategori RTH yang dimiliki kota Bandung. Beberapa taman (park) kota Bandung yang merupakan peninggalan pemerintah Belanda dan masih dapat kita lihat sampai saat ini adalah Ijzermanpark (Taman Ganeca), Molukkenpark (Taman Maluku), Pieter Sijthoffpark (Taman Merdeka), Insulindepark(Taman Nusantara/Taman Lalu Lintas), dan Jubileumpark (Taman Sari atau Kebon Binatang). Sekitar tahun 1950-an, Presiden Soekarno melarang rakyat menggunakan Bahasa Belanda. Taman-taman kota peninggalan Belanda ini pun diubah namanya ke dalam Bahasa Indonesia.

(Syafrezani/dari berbagai sumber)