Pages

18.10.10

Oma dan Janjinya

Suatu waktu saya mendapat tugas untuk membuat artikel tentang sebuah rumah sakit khusus di Bandung. Humas rumah sakit tersebut memberikan informasi bahwa istri dari mendiang direktur pertama RS ini masih hidup dan mungkin bisa diwawancarai, jika ingin mendapatkan banyak keterangan tambahan. Saya dan teman saya akhirnya mencoba menghubungi wanita tersebut, yang selanjutnya akan saya sebut dengan nama Oma.

Minggu lalu, saya menelefon ke rumah sang oma. Di usianya yang ke delapan puluh, pendengarannya masih sangat baik. Ia menjawab telefon dengan sangat ramah. Aksennya saat berbicara khas Indo-Belanda yang fasih Holland spreaken. Kami memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud wawancara, beliau akhirnya bersedia ditemui pada hari Senin pagi. Awalnya, ia agak sedikit terkejut, karena kami ingin mewawancarainya. Ia juga kebingungan karena sekarang ini ia sebenarnya sedang sibuk mengurusi kegiatan-kegiatan sosial yang dikelolanya. Akhirnya kami sepakat untuk bertemu pada Senin pagi. Dengan ramah Sang Oma mengucapkan, "Terima kasih," padahal seharusnya saya lah yang lebih dulu berterima kasih kepada beliau. Saya pun berjanji akan menghubunginya lebih dulu, sebelum datang ke kediamannya.

Hari Senin tiba, dengan pertimbangan tidak ingin mengganggu Oma dengan menelefon beliau terlalu pagi. Akhirnya saya mengontaknya nyaris pukul 09.00. Di seberang sana seorang perempuan bersuara "Hallo!" Tapi saya tahu, dia bukan Oma. Saya pun minta disambungkan ke Oma.

Oma langsung meminta maaf, karena tidak bisa bertemu saya pagi itu, karena ada kerabatnya yang wafat dan akan dimakamkan pagi itu juga. Beliau bingung harus menghubungi saya kemana, karena saya tidak meninggalkan nomor telefon. Saya merasa sangat bersalah, karena Oma jadi harus menunggu saya menghubungi beliau, sebelum bisa pergi ke pemakaman. Ia juga sangat sangat minta maaf, karena tidak bisa memenuhi janji untuk bertemu hari itu. Saya juga sangat menyesal karena tidak menelefon lebih awal.

Namun yang paling berkesan dari itu semua adalah, penghargaan Oma atas sebuah janji. Ia rela menunggu saya menghubunginya, sebelum pergi ke pemakaman. Ia mau repot-repot mencari nomor telefon dan menunggu saya, karena janji yang sudah kami sepakati. Janji itu sesuatu yang harus ditepati! Terima kasih Oma..

24.9.10

Mempertahankan Gedung Sate!

source: skyscrapercity.com

Kata-kata di atas mungkin kini terkesan hanya sekadar mempertahankan keaslian bentuk salah satu gedung bersejarah peninggalan Belanda di Bandung yang memiliki arsitektur unik.

Namun jika mau mengingat peristiwa 65 tahun silam, maka maknanya akan jauh lebih dalam dari itu. Mempertahankan Gedung Sate atau yang saat itu dikenal dengan nama Gedung PTT berarti juga mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Saat itu para pemuda pejuang yang bertahan di Gedung Sate sudah dikepung tentara Inggris. Mereka bertekad mempertahankan Gedung Sate dan berharap mendapat bantuan senjata. Namun kekuatan pejuang dan Sekutu yang tidak seimbang menyebabkan Gedung Sate akhirnya jatuh ke tangan tentara Inggris.

Namun untuk memasuki gedung, bukanlah hal yang mudah bagi para mister. Inggris harus melangkahi mayat pejuang yang gugur mempertahankan kemerdekaan, mempertahankan kehormatan sebelum masuk ke dalamnya. Pejuang yang bukan sekadar mempertahankan jabatan berujung tahanan..

Mereka yang gugur diantaranya: Didi Kamarga, Suhodo, Mukhtaruddin, Rana Subengat, Susilo dan Suyono.

Pernah ada darah yang tumpah untuk mempertahankan gedung megah itu..

November '45

*Dikutip dari Buku "Tiada Berita dari Bandung Timur"

23.9.10

Lelaki Tua Bersarung

Sudah berbulan-bulan ia terus mondar mandir di rute yang sama, yakni di sekitar Jalan Bebedahan, Gedebage. Rambutnya terurai sebahu, badannya kurus kering dan tubuhnya hanya diselubungi sehelai sarung warna hijau-merah-biru. Jika kebetulan melintas dan melihatnya, ia biasanya sedang berjalan dari barat ke timur atau dari timur ke barat sambil memegangi sarung yang menjadi pakaian satu-satunya. Sesekali terlihat ia menghisap rokok, baik puntung bekas atau rokok baru yang dikasih orang. Kadang kala ia juga terlihat sedang tertidur di bawah pohon beralas tanah. Kadang meringkuk, kadang telentang, sembari terus memegangi sarung yang menjadi satu-satunya sumber kehangatan. Hal yang paling memilukan adalah ketika melihatnya menyantap, sisa makanan orang-orang. Entah makanan siapa. Entah sudah basi atau belum. Ia akan memakannya. Setelah ia makan, terlihat sisa-sisa nasi menempel di kumis dan janggutnya yang semakin panjang dan tak terurus.

Aku tak tahu namanya dan ku pikir tak mungkin juga menanyakan langsung padanya. Dan jujur aku malas menanyakan pada penduduk di sekitar. Jadi, marilah kita menyebutnya "lelaki tua bersarung". Seorang lelaki tua dengan raut wajah kosong dan sesekali tampak menyimpan duka. Lelaki yang bertahan hidup dalam ketidakramahan alam dan ketidakpedulian orang-orang sekitar. Sampai kapan ia bertahan?

Waktu memasuki Bulan Ramadhan. Bulan dimana orang-orang yang sebelumnya bersinar hitam mencoba memancarkan sinar terang. Beberapa hari menjelang lebaran, ku lihat ada yang berbeda dari lelaki tua bersarung. Rupanya kain sarungnya baru. Warnanya lebih cerah. Mungkin ada yang iba melihat sarungnya hari demi hari makin compang camping. Bolong di sana sini. "Syukurlah.. dia punya sarung baru. Besok lusa akan kuambil fotonya," pikirku.

Namun belum sempat mengambil gambar Sang Lelaki Bersarung, ia menghilang. Hingga hari ini, ia tak pernah kelihatan lagi. Ada berbagai kemungkinan kenapa ia menghilang. Mungkin ada yang mengambilnya dari jalanan dan ditempatkan di rumah sakit jiwa. Mungkin keluarganya menemukannya, lantas membawanya pulang. Tapi yang paling menyedihkan adalah jika benar tubuh rentanya tak kuat lagi menahan ganasnya alam. Cuaca yang panas-hujan-panas-hujan. Tak ada makanan yang layak dimakan. Tak ada tempat berlindung. Tubuh renta itu akhirnya menyerah juga..

Dimanapun bapak berada sekarang. Semoga mendapatkan tempat yang lebih baik..

Bandung, Jan-Sept 2010

*Jiwa - kumpulan memori tentang orang-orang yang disebut "gila".

13.9.10

World Cup 2010

The octopus with Spain.. The camel for Neth and still God with uncertainty til' it's really finish.

Okay.. There's always tears from the looser even he's a man.

There'll always be the winner and the man who stand in the second position.

12.9.10

Grandpa

pic was taken in 1964

*Henoch Thomas Sastradihardja a.k.a Tohier Sastradihardja (02051896 - 08121984)

5.7.10

Sok Asyik, Cuek, atau Kikuk..

Beberapa waktu belakangan ada pemandangan yang cukup menggelitik di sekitar saya. Setelah isu video panas merebak di media, orang-orang tampaknya terus membahas hal tersebut baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Ada yang penasaran sibuk bertanya dan mencari kiri kanan, lalu terus mengikuti kelanjutan balada video mirip artis ini; ada pula yang penasaran, mengikuti, dan menonton diam-diam; lalu ada yang tidak peduli namun akhirnya paham juga, karena isu ini sedang jadi trending topic, bukan cuma di twitter tp juga in real life.

Saya perhatikan ada orang-orang yang khusyuk menonton sendirian. Ada yang ramai-ramai nonton di depan satu pc atau laptop sambil tertawa2-tawa dan berkomentar; ada pula yang khidmat memandangi layar ponsel baik sendirian maupun berjamaah. Dan saat ada orang lain lewat di dekatnya, si penonton ponsel langsung tampak terkejut. Ahh!! Lucu sekali ekspresi orang-orang ini.

Tapi menurut saya yang paling menyebalkan adalah orang yang tiba-tiba datang lalu langsung heboh minta video teranyar mirip artis. Heran! Sebenarnya orang-orang sikapnya bagaimana ya?? Perilaku artis yang mirip aktor-aktris di video panas dihujat tapi videonya diburu. Sampai yang dijual pun laris manis bak kacang goreng..

Dasar manusiaaa.. Hah!! Capeekk deeh..

1.7.10

Gara-Gara Cincin

Sewaktu membeli perbekalan di sebuah mini market yang terletak di Jalur Pantura, saya melihat seorang wanita tua yang duduk di lantai tak jauh dari pintu masuk mini market. Terbersit keinginan untuk memberi sedikit uang pada wanita itu, karena saya menduga bahwa ia memang duduk di situ untuk mengemis.

Usai berbelanja dan berjalan ke mobil, saya bisa melihat wanita itu lebih jelas dan tiba-tiba urung memberikan uang sekadarnya. Kenapa?? Saya tidak bisa mengingat apakah wanita itu sebenarnya masih cukup muda untuk bekerja dan bukannya meminta-minta. Padahal hal itu sebenarnya bisa jadi alasan yang cukup kuat untuk mengurungkan niat sedekah. Namun bukan itu alasannya. Sebenarnya saya sekilas melihat sebentuk cincin serupa emas melingkar di jarinya. Hal yang ada di kepala saya saat itu, "Ia masih memakai cincin, kenapa harus mengemis?" Sesederhana itu, mungkin boleh juga dibilang, sepicik itu.

Setelah beberapa waktu, baru terpikir oleh saya, mungkin itu cincin pernikahan yang tidak ingin ia tanggalkan sampai kapan pun, meskipun pasangannya sudah pergi mendahuluinya. Atau mungkin itu adalah sebuah cincin pemberian orang tuanya, atau anaknya yang terkasih. Bisa jadi pula, cincin itu adalah harta terakhir yang ia miliki.

Betapa yang melekat pada diri kita bisa sangat mempengaruhi impresi orang lain. Meski sebenarnya, apa yang kita lihat, belum tentu sebuah kebenaran. Mata ini bisa dibuat buta oleh apa yang nampak. Dan apa yang dipandang mata dapat mengubah hati. Semoga di kemudian hari, apa yang nampak, tidak lagi menggagalkan niat yang sudah ada di hati. (Pantura, 2010)


4.6.10

Jus Pidada - Tur Pantura (3)

Usai menyaksikan lelang hasil tambak dan lelang hasil tangkapan nelayan di Blanakan, tiba waktu Jumatan bagi para pria. Setelah para pria selesai beribadah baru kami bersantap siang dengan aneka penganan yang berbahan dasar ikan, kepiting dan udang dengan bumbu yang mantap. Sungguh lezat rasanya!

Kami makan siang di area penangkaran buaya, Blanakan, Subang. Udaranya cukup panas, maklum kami masih dekat sekali dari pantai. Namun hawa panasnya kalah oleh rasa hidangan. Hmmm..nyam nyam.. :)

Selagi manis pedas bumbu masih terasa di lidah, kami disuguhi minuman segar dari buah asli. Namanya Jus Pidada. Eitsss.. jangan dipelesetkan jadi buah d*d* ya.. hihihi..

Pidada masih tergolong tanaman berjenis mangrove yang tumbuh dalam ekosistem pantai, nama lainnya adalah Perepat. Pada tegukan pertama, jus pidada masih terasa asing di lidah, namun setelah beberapa saat, rasanya dapat digambarkan sebagai perpaduan antara buah pisang dan stroberi. Aroma dan rasanya seperti pisang, sedangkan teksturnya mirip jus stroberi. Manis, asam.. menyegarkan..

Untuk penggemar aneka jus.. semoga bisa segera mendapatkan buah ini dan merasakan nikmatnya..

"Segelas Jus dari Buah Pidada"


3.6.10

Mr. Slaker - Tur Pantura (2)

"Lelang"


Mungkin sudah banyak yang pernah mendengar soal Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan pernah melihat interaksi antara juru lelang dan pembelinya. Namun lelang yang akan dibahas kali ini sedikit berbeda. Komoditas yang dilelang bukan hasil tangkapan nelayan, melainkan hasil tambak, karena itu fasilitas lelang yang satu ini dinamakan Tempat Pelelangan Hasil Tambak (TPHT). Pada (30/4) yang lalu, saya mendapatkan kesempatan berkunjung ke daerah Blanakan, Kab Subang, untuk melihat proses lelang hasil tambak, yang mayoritas berjenis udang windu, udang vaname dan udang jenis lainnya, serta ikan bandeng.

Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara dengan dialek setempat yang kental, “Tiga puluh ribu, tiga puluh ribu lima ratus, Tiga puluh satu ribu, tiga puluh satu ribu lima ratus. Udang windu sekilo seton tiga puluh satu ribu..” Kalimat barusan terus dirapal sang juru lelang atau yang lebih dikenal dengan sebutan ‘slaker’ hingga tak ada lagi pembeli atau ‘bakul’ yang sanggup membayar dengan harga lebih tinggi. Konon istilah slaker ini berasal dari bahasa Belanda dan terus digunakan hingga sekarang oleh penduduk setempat.

Di tempat lelang tersebut, terdapat beberapa petugas berseragam yang bertugas sebagai juru tulis, petambak sekitar yang membawa hasil panennya dan seorang anak muda yang bertugas menempatkan barang lelang yang sudah laku di keranjang tiap-tiap bakul. Ada pula seorang slaker yang tugasnya cukup rumit, yakni ikut menimbang ikan atau udang dari petambak, menaksir harga, merapal berat dan harga dengan kecepatan tinggi dan memperhatikan isyarat para bakul.

Namun sungguh tak mudah mengerti interaksi antara slaker dan bakul ini. Ternyata ada kode-kode khusus yang diberikan bakul pada sang slaker jika berminat terhadap barang yang tengah dilelang, seperti menanggukkan kepala, berkedip, memalingkan muka atau menggerakkan jari. Selebihnya para bakul hanya terlihat seperti orang yang menonton pertunjukkan dengan duduk di bangku panjang di hadapan slaker, sambil sesekali menulis, mengobrol dan merapikan ikan dan udang yang sudah dibelinya.

Proses lelang hasil tambak ini diadakan setiap hari oleh sebuah koperasi dengan jumlah bakul yang relatif konsisten, yakni sekitar sepuluh orang. Sementara proses lelang sendiri diadakan mulai sekitar pukul 08.00 hingga tengah hari. Selama itu pula sang slaker tak henti-henti merapal harga dan berat barang lelang yang satuannya dipelesetkan dari ons menjadi ton, karena katanya lebih sulit untuk menyebut ons dibanding ton.

Saya dan teman-teman terus mengamati proses lelang hari itu hingga selesai, sehingga kami punya waktu untuk menanyai sang slaker usai ia bekerja. Sesekali kami bersenda gurau soal sang slaker, salah satunya mengenai dugaan kami bahwa mungkin setelah bekerja sang slaker tidak akan berbicara lagi sepanjang sisa hari karena serak dan kehabisan suara. Namun ternyata usai lelang, ia masih bisa bicara dengan lancar menuturkan pengalamannya.

Sang slaker bernama Nanang, usianya 30-an dan ia sudah cukup lama bekerja sebagai juru lelang. Ia memberitahu kami soal sistem lelang di TPHT tempat ia bekerja, juga menjelaskan kode-kode khusus antara bakul dan slaker. Saat ditanyakan mengenai pengalaman pertamanya, Nanang menjawab, “Dulu waktu pertama kali lelang, pulang kerja, saya gak bisa ngomong, tenggorokan saya sakit dan memang belum bisa secepat sekarang ngomongnya. Tapi lama-lama akhirnya biasa.” Kami pun tertawa mendengarnya dan hingga perjalanan pulang masih takjub dengan kecepatannya merapal dan kejeliannya membaca isyarat 10 orang bakul yang nyaris tak terlihat orang awam.

"Mr. Slaker"

19.5.10

Pangkalan Eretan - Tur Pantura(1)

29 April perjalanan dimulai. Genap seminggu, Pantura Jabar akan saya jelajahi, bersama Amaliya, Hazmirullah, Ag. Tri Joko Her Riadi dan juga driver Hendi. Kami meninggalkan Bandung sekitar pukul 08.00 dengan tujuan pertama Karawang, tepatnya menuju Balai Pengembangan Budidaya Air Payau dan Laut, untuk memenuhi tugas dari kantor, menyusun laporan berseri.

Perjalanan sebenarnya tidak terlampau jauh. Dari tol Cikampek kami hanya harus menuju arah Karawang kemudian Rengasdengklok, tempat dimana dahulu para proklamator diculik, kemudian diminta untuk memproklamasikan kemerdekaan. Namun karena tersasar, kami harus memutar hingga berkilo-kilometer, melewati jalanan rusak, sempit, melintasi perkampungan dan sawah. Berkali-kali kami harus menanyakan pada penduduk setempat, apakah kami menuju arah yang benar. Hingga kami sampai di Kecamatan Pebayuran, Kab Bekasi yang seperti daerah antah berantah. Daerah ini mayoritas dihuni masyarakat berumah-rumah sederhana dan disekelilingnya terhampar pemandangan sawah-ladang, binatang ternak lalu lalang dan saluran-saluran air berukuran besar yang sayangnya jauh dari higienis. Saluran ini selain berisi air, lumpur, juga sampah-sampah plastik dan beragam benda lain. Cukup dulu cerita mengenai lingkungan yang memprihatinkan.

Kami terus memacu kendaraan menuju Rengasdengklok. Menurut informasi seorang penduduk yang kami tanyai, kami harus melewati ‘pangkalan’ untuk sampai ke tujuan. Kami semua bingung dengan istilah ‘pangkalan’, kemudian mulai menebak-nebak. Kami pikir mungkin pangkalan adalah semacam jembatan, karena sepertinya kami harus menyeberangi sungai.

Tak lama kemudian, akhirnya kami paham arti ‘pangkalan’. Ternyata yang dimaksud penduduk dengan ‘pangkalan’ adalah tempat penyeberangan, bukan jembatan. Karena wilayah Kab Bekasi dan Kab Karawang dipisahkan oleh Sungai Citarum, maka untuk sampai di Karawang, kami harus menyeberang. Harap dicatat! Bukan menggunakan jembatan. Tapi dengan sejenis rakit yang digerakkan oleh tenaga manusia. Ada semacam kabel kawat dan katrol yang dikaitkan pada tiang-tiang di daratan. Alat ini melintas di atas sungai dan bekerja layaknya timbaan sumur. Ada dua orang yang bertugas mengerek kabel agar rakit bergerak.

Meskipun sungai yang kami lintasi tidak terlampau dalam, perasaan was-was sempat singgah juga, mengingat mobil yang kami kendarai harus dinaikkan ke atas rakit kayu, yang tingkat keamanannya, ah entahlah! Rakit ini juga memang hanya pas untuk satu mobil. Pas sekali! Bersyukur.. aktivitas menyeberangi sungai ini berakhir kurang dari lima menit. Kami dikenakan biaya Rp 10.000 dan bagi masyarakat yang menggunakan kendaraan roda dua harus membayar sekitar Rp 1.000.
Turun dari ojek rakit yang bernama ‘Eretan’ ini, kami tinggal beberapa langkah lagi menuju tujuan. Harus lekas sampai, karena sudah lewat tengah hari dan perut mulai sulit diajak kompromi.

"Bersiap Menyeberang"


"Eretan"


"Lintas Citarum"

17.5.10

Cuci-Mencuci

Tadinya saya berpikir ini terlalu remeh untuk di-posting. Tapi saya pikir ulang, gak ada ruginya, untuk mengisi label serba-serbi di Corner of Others.

Jadi begini.. Tereman-karawan pasti pernah lihat iklan sabun cuci kan? Alias detergent. Yang katanya sekali kucek noda langsung hilang?? Saya terus terang heran bin takjub, buat saya iklan-iklan itu terlalu bombastis. Padahal kenyataannya noda yang sudah dikucek sampai tangan lecet juga belum tentu hilang, kalau nempelnya sudah berhari-hari. Tapi saya juga takut sih kalau lantang bilang mereka melakukan pembohongan publik. hehe.. Dan yang belakangan saya tahu, detergent juga ternyata tidak seampuh sabun mandi. Buktinya begini, noda darah yang baru melekat kurang dari satu hari di pakaian, lebih mudah hilang saat dikucek pakai sabun mandi. Kalau pakaian yang bernoda cuma direndam di detergent doang, ga dijamin nodanya hilang. Bukti kedua ampuhnya sabun mandi adalah pada noda lumpur. Belakangan cuaca terus-menerus hujan dan untuk yang naik motor dengan menggunakan kaus kaki, dijamin kaus kakinya kecipratan lumpur.

Beberapa hari yang lalu kaus kaki pink saya kena lumpur dan karena saya malas mencuci, saya rendam saja di detergent semalaman. Lalu besok paginya saya tengok, ternyata noda lumpurnya masih nempel. Penasaran dan sedang agak rajin, saya kucek kaus kakinya pakai sabun mandi. Dan hasilnya?? Warnanya kembali ke asal, lumpurnya hilang!! Jadi, ibu-ibu, cewek-cewek dan bapak-bapak yang kebagian urusan cuci-mencuci. Cobalah sabun mandi untuk pakaian bernoda, khususnya untuk noda darah dan lumpur yang masih baru.

Selamat dan sukses ! Wilujeung nyeuseuh!

11.5.10

Molukkenpark

Taman Maluku - Molukkenpark, 23 April 2008

Sore itu sekitar pukul 17.00, saya mengunjungi sebuah taman kota yang terletak di antara Jalan Ambon, Seram, dan Aceh di Kota Bandung. Sebuah lokasi yang sering dilewati, namun mungkin jarang diperhatikan dengan seksama. Bahkan mungkin tak banyak yang tahu bahwa di taman ini terdapat patung seorang pastur, yang bernama H. C. Verbraak. Patung ini terletak di sudut taman yang berbatasan langsung dengan kompleks perkantoran milik TNI di Jl. Seram. Keberadaannya memang tak banyak disadari, karena tertutupi dahan-dahan pohon.

Taman ini sekarang dikenal dengan nama Taman Maluku. Pohon-pohon dengan usia puluhan dan ratusan tahun menghuni taman yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda ini. Dahulu taman ini bernama Molukkenpark. Selain pohon-pohon besar, terdapat pula tanaman berupa semak-semak, rumput, dan sedikit bunga-bungaan. Seharusnya ada keterangan tentang jenis pohon-pohon yanga ada di taman ini. Keterangan tersebut dituliskan pada sebuah papan dan diletakkan dekat dengan pohon yang dimaksud. Namun sisa papan yang ada hanya tinggal sebuah dan bertuliskan "pohon damar".

Di tengah-tengah taman terdapat sebuah kolam, dengan ornamen air mancur di tengahnya. Sayang, kolam tersebut tampak sudah tidak berfungsi lagi. Dasar kolam tampak jelas dan hanya ada sisa air hujan yang menggenang di sana. Fasilitas lain yang dimiliki taman ini adalah jalan setapak, saluran-saluran air, dan tempat untuk duduk-duduk. Namun tak tampak penerangan yang memadai, sehingga jika malam hari tiba, taman ini mungkin nyaris gelap gulita.

Sore itu tampak tiga orang sedang duduk-duduk di bangku taman, dan seorang perempuan membereskan pakaian yang telah dijemur di atas semak-semak sejak siang hari. Saat dihampiri dan ditanyakan nama serta aktivitas yang mereka lakukan di taman ini, mereka menjawab ramah. Dua orang yang memperkenalkan diri, kita sebut saja Tati dan Markus.

Tati adalah seorang perempuan berusia sekitar 20 tahun. Ia mengaku sudah sejak lama sering berada di taman ini karena tidak punya tempat tinggal. "Saya kabur dari kampung, daripada selalu bikin malu dan dimarahi orang tua," ujar Tati. Keputusannya untuk lari dari rumah diawali oleh suatu kejadian aneh yang menyebabkannya merasa tidak lagi normal. "Saya dulu pernah mati tapi bangun lagi. Waktu itu saya mati jam 3 pagi. Saat keluarga sudah mempersiapkan pemakaman eh.. jam 6 saya bangun lagi. Sejak itu kelakuan saya gak normal. Jadi kayak anak kecil. Untung di Bandung saya ketemu dengan Mas Markus. Saya ikut dia sekarang," kata Tati lagi.

Seusai Tati bercerita, giliran Markus yang bersuara. Di samping Markus tampak seorang perempuan dengan tatapan kosong sedang menghisap rokoknya. Potongan rambut dan pakaiannya nyaris menyerupai laki-laki. "Ini istri saya. Dia kena gangguan jiwa. Tiga orang ini ikut saya," ujar Markus sambil menunjuk seorang laki-laki lain yang sedang jongkok dan menyembunyikan wajahnya.

"Kami mencuci pakaian di sini, dengan memakai air selokan. Tidur di sini juga. Kalau hujan ya kami tidur di emperan toko. Kami tidak punya pekerjaan. Untuk makan kami minta sedekah pada orang-orang," tutur Markus lagi. Sore itu udara cukup dingin. Langit mendung pertanda hujan akan segera turun. Namun Tati, Markus dan istrinya, serta seorang laki-laki lain belum beranjak kemana pun. Mungkin berharap rimbunnya pepohonan bisa melindungi mereka dari guyuran hujan dan dinginnya angin.

***

Keesokan harinya saya berkunjung ke tempat yang sama. Waktu menunjukkan pukul 10.30 saat saya berjalan memasuki taman. Di saluran air yang ada dalam kompleks taman terlihat seorang lelaki berusia sekitar 60 tahun sedang mencuci pakaian dengan air yang mengalir di selokan tersebut. Beberapa meter kemudian di bangku taman terlihat sepasang muda-mudi sedang bercengkrama. Saya pun berlalu dan mengarahkan pandangan ke tempat saya bertemu empat orang yang unik sehari sebelumnya.

Ternyata saya masih menjumpai Tati, Markus dan istrinya. Mereka belum beranjak dari tempat mereka kemarin. Markus terlihat sedang membereskan alas tidurnya, sedangkan Tati sedang duduk sambil menggaruk-garuk kepalanya di bangku taman. Setelah menyapa mereka, saya kembali melanjutkan perjalanan berkeliling taman.

Di sisi lain taman yang berbatasan dengan GOR Saparua, saya melihat seorang ibu dan ketiga anaknya. Anak sulungnya berusia sekitar lima tahun. Mungkin mereka penghuni lain taman ini. Anak yang paling kecil berada dalam dekapan ibunya. Sedangkan kedua kakaknya yang tidak bercelana bermain di saluran air.

Tanggapan? Hmm.. Saya tidak tahu harus berpendapat apa. Setidaknya masih ada ruang terbuka hijau bagi mereka di kota Bandung ini. Taman kota untuk para tuna wisma.

"Kabur" -nya Sejarah Taman Kota Bandung

Fakta bahwa banyak catatan sejarah yang "kabur" di negeri ini mungkin sudah kita ketahui sejak lama. Entah memang sengaja dikaburkan atau "hilang". Ternyata tak hanya dokumen asli supersemar yang patut kita pertanyakan, tapi juga catatan sejarah mengenai hal-hal yang kita anggap kecil, seperti catatan tentang bangunan tua, monumen, bahkan taman kota. Kita perlu catatan mengenai hal-hal kecil tersebut, karena bangunan tua, monumen, dan pohon-pohon dengan umur ratusan tahun tak mampu berkata-kata. Catatan kecil nan penting itu lah yang kita butuhkan, untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu. Bertanya pada sumber utama, bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Setelah puluhan tahun berlalu, mungkin mereka pun sudah kembali pada-Nya.

Prinsip yang lalu biarlah berlalu ternyata tak berlaku bagi sejarah. Catatan kekhilafan masa lalu pun ternyata patut disimpan rapi, dikaji ulang, diresapi, dan diantisipasi, supaya sejarah "kelam" tak terulang lagi.

Kekecewaan saya pada catatan sejarah di Indonesia muncul saat saya mencoba untuk menggali sejarah taman-taman kota yang ada di Bandung. Beberapa taman besar yang kita miliki dan nikmati saat ini adalah peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda. Itu adalah fakta yang tak bisa dipungkiri. Meskipun saya merasa banyak usaha telah dilakukan untuk menghilangkan "bau" Belanda dari Kota Bandung sejak revolusi.

Setelah Indonesia merdeka, sekitar tahun 1950, pemerintah saat itu melarang penggunaan Bahasa Belanda dalam kehidupan rakyat. Salah satu manifestasi keinginan pemerintah saat itu adalah dengan mengganti nama-nama taman yang ada di Kota Bandung dengan nama "berbau" Indonesia. Pieterspark diganti namanya menjadi Taman Merdeka, Insulindepark menjadi Taman Nusantara, dan Ijzermanpark menjadi Taman Ganesha.

Pieterspark dan Ijzermanpark merupakan taman yang dibangun untuk menghormati jasa Tokoh Belanda di masa kolonial, atau dapat dikatakan merupakan "Taman Peringatan". Di masing-masing taman tersebut berdiri patung tokoh penting Belanda yaitu Pieter Sijthoff, seorang Asisten Residen Bandung dan Dr. Ir. Ijzerman, seorang pegawai jawatan kereta api yang berjasa besar dalam pendirian Technise Hogeschool (THS) atau yang sekarang bernama ITB.

Tak hanya mengganti nama, diperkirakan tahun 1950-an pemerintah juga melakukan pembongkaran terhadap patung-patung tokoh Belanda di Bandung. Satu-satunya patung yang tersisa adalah Patung Pastor Verbraak yang masih berdiri tegak di Taman Maluku hingga hari ditulisnya catatan ini.

Tindakan pemerintah membongkar patung-patung tersebut menurut saya sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Rasa sakit akibat penjajahan Belanda memang perlu disembuhkan. "Menghapus Jejak" Belanda mungkin menjadi soundtrack Indonesia kala itu. Namun sayang sungguh sayang, penghapusan jejak ini ternyata menghilangkan fakta-fakta dan bukti-bukti otentik yang penting bagi catatan sejarah.

Buktinya kini sulit bagi saya (dan mungkin pengamat sejarah lainnya) untuk menemukan catatan resmi kapan patung-patung tersebut dibongkar dan dimana sebenarnya patung-patung tokoh Belanda itu kini, dan bagaimana kondisinya apakah masih utuh atau tinggal keping-keping. Bahkan seorang sejarawan yang saya temui pun angkat tangan saat ditanyakan keberadaan patung-patung tersebut.

Namun, tetap ada hikmah atas semua yang telah terjadi. Untuk yang hidup hari ini dan mungkin melakukan sesuatu yang mungkin berarti buatlah dokumentasi. Mungkin suatu saat generasi mendatang membutuhkan catatan kita hari ini. Catatan sejarah tak bermaksud menghakimi siapa yang benar dan salah, siapa yang menjajah dan terjajah. Ia hanya mencatat fakta atas apa yang telah terjadi, tindakan dan perubahan kehidupan manusia dari masa ke masa.. Semoga kita cukup bijaksana..

-150508-

8.5.10

Our Strong Little Girl


Usianya belum genap lima, saat menjalani serangkaian ujian hidup. Berkenalan dengan pria dan wanita yang selalu berbaju putih, bau antibiotik, jarum suntik, selang infus, selang oksigen dan segala pantangan yang katanya demi kesehatan.
Tapi Indira tetap tenang, tak banyak bicara, meski tergolek lemah dan pasrah kapan saja petugas berbaju putih mengambil sampel darahnya. Ia hanya sesekali minta didudukkan, karena sudah jengah berbaring. Ketika sudah diperbolehkan makan dan ditanya mau makan apa, ia menjawab "Mau ayam KFC." Mendengar jawabannya saya tersenyum. Ada perasaan campur aduk saat menatapnya. Saya salut!! Gadis ini kuat..
Indira adalah keponakan dari sahabat saya. Ia didiagnosis mengidap leukemia. Tak ada riwayat penyakit ini dalam keluarga. Sebelumnya Indira hanya pernah terkena malaria. Tidak ada penjelasan yang komprehensif untuk pertanyaan "Kenapa ini bisa terjadi pada Indira?"
Saya hanya satu kali bertemu Indira, itupun di rumah sakit, tepatnya 6 April 2010. Ia tidak tampak seperti anak-anak dengan penyakit berat. Sedikit sekali mengeluh, walaupun ruangan anak di rumah sakit itu jauh dari nyaman, cenderung pengap. Titik-titik bekas jarum suntik nyata di bagian tangan dan kakinya, karena ia harus diambil darahnya secara periodik, untuk mengetahui perkembangan kadar eritrosit, trombosit dan leukosit dalam tubuhnya.
Untuk seorang anak dengan penyakit berat, Indira tidak pernah mengeluh lebih dari keluhan-keluhan orang yang masuk angin. Meski kami juga tidak pernah tahu apa yang sebenar-benarnya ia rasakan.
Kami tidak bisa menanyakan apa yang sebenarnya Indira inginkan. Tapi pada suatu hari gadis cantik ini pernah bicara tentang "pulang". Kepada ibunya, ia mengutarakan pemahamannya tentang Tuhan. Ia menanyakan tentang surga. Ia menyatakan bahwa semua adalah milik Tuhan. Ia jiwa yang tenang. Ia tahu kemana akan pulang. Di antara keinginan dan kepasrahan, doa yang terlantun dari sahabat saya adalah semoga gadis kecil ini sembuh dan mendapatkan yang terbaik dari-Nya.
Usai menjenguk Indira, saya dan sahabat saya pergi makan siang di sebuah restoran cepat saji. Kebetulan.. saat itu pihak restoran sedang menyiapkan acara ulang tahun bagi seorang anak. Saat kami melihat papan ucapan selamat ulang tahun, ternyata yang akan berpesta adalah seorang gadis kecil lain yang juga bernama Indira. Dan kebetulan pula tak lama lagi Indira kami juga akan berulang tahun. Tuhan seringkali menciptakan "kebetulan" yang direncankan. Saat itu kami hanya berharap Indira dapat merayakan ulang tahunnya yang kelima dalam keadaan yang lebih baik.
Tak berapa lama dari hari saya menjenguknya, Indira meminta pulang. Namun dokter belum membolehkan, karena suhu tubuhnya masih tinggi dan ada bercak-bercak di tubuhnya. Namun akhirnya Indira diperbolehkan pulang. Sesampainya di rumah, kondisi Indira jauh membaik, panasnya turun dan bercak-bercak di tubuhnya menghilang. Hari-harinya di rumah ia habiskan bersama adiknya. Salah satu alasannya ingin pulang juga karena kangen pada adik semata wayangnya.
Setelah beberapa hari di rumah, kondisi Indira kembali menurun, tanggal 18 April ia kembali dibawa ke rumah sakit setelah menjalani pengobatan alternatif. Indira sempat menginap semalam di rumah sakit dan rencananya akan mendapat transfusi di pagi hari. Namun ternyata tubuhnya sudah menolak transfusi. Yang Maha Penyayang rupanya sudah menginginkannya "pulang"..
Kaget dan kehilangan. Itulah perasaan yang mewarnai pagi itu, setelah sahabat saya menelfon dan memberi tahu kondisi terakhir Indira. Meski mungkin inilah jalan terbaik yang diberikan Tuhan, bukan hanya untuk Indira, juga untuk semua yang pernah mengenalnya.
Kepergian Indira semakin membuat saya yakin, bahwa semua orang punya waktu untuk pulang. Dan pada saat waktu itu tiba, apakah sudah tahu arah kemana kita akan menuju? Apakah kita bisa bercerita tentang Tuhan dan surga selancar cerita Indira?

Rest in peace Our Lovely Indira. You have won a battle called life and you know where to go next. We hope we can see you high up above..

Indira P. Aulia (2005 - 19 April 2010)
My best friend's (Kania Dewi Natalia) niece

More about Indira
http://littlemebigme.blogspot.com/2010/05/end-of-battle.html

*In the few last months, i met two persons once in my life time, but it seems that they teached me about life. Ironically, i can't meet both of them in this life again. I just can say, "Rest in Peace. C U high up above."

@Kania.. thanks banget buat fotonya.. :)

24.4.10

Sahabat Pertama

Namanya Gita Puspita Maheswari. Keluarganya memanggilnya Mbak Ita, karena ia cucu pertama (kalau tidak salah). Ada pula yang memanggilnya Ita. Aku memilih memanggilnya "Git". Kami berteman sejak Taman Kanak-Kanak. Pertemanan yang sempurna, dihiasi berbagai rasa. Kadang suka, senang, sebal, cemburu, berantem. Kami tak selalu bersama. Perbedaan kelas dan akhirnya perbedaan sekolah sedikit banyak mempengaruhi intensitas kebersamaan kami. Hingga tanpa disadari, kami pun semakin berjarak.
Sewaktu masih di bangku taman kanak-kanak, seingatku kami hanya saling mengenal, belum berteman dekat. Setelah masuk ke sekolah dasar yang sama, barulah kami mulai intens bermain dan segala dinamika pertemanan kami kecap bersama. Kami pernah ada di kelas yang sama, pernah les pelajaran bersama di rumah nenek Gita. Orang tua dan keluarga kami pun saling mengenal. Maklum kami tinggal di kota kecil dan jarak antara rumah nenek Gita dengan rumahku tak sampai 2 kilometer.
Hingga kelas satu SMP kami terus bersama. Ia sering main ke rumahku dan aku sering berada di rumah neneknya. Kerap aku menjemputnya di rumah neneknya saat akan pergi sekolah dan ia kerap marah-marah, karena kebiasaan terlambatku. Kadang dia manyun dan mendiamkan aku sepanjang jalan karena kesal, kadang kami mengobrol dan kadang kami jalan sendiri-sendiri asik dengan lamunan masing-masing. Naik ke kelas dua, kami tak lagi sekelas, aku menemukan teman-teman baru, demikian pula Gita. Kami semakin menjauh meski masih saling menyapa.
Waktu terus berjalan dan kami masuk SMA yang berbeda. Sayup-sayup, masih ku dengar kabarnya hingga kami sama-sama di bangku kuliah dan ada di kota yang berbeda. Aku pernah mendengar ia dekat dengan seorang teman yang sama-sama kami kenal sejak taman kanak-kanak sebelum seseorang memberitahuku bahwa ia jatuh sakit.
Dan inilah "perjumpaan"-ku yang terakhir dengannya, setelah bertahun-tahun..
Sore itu angin berhembus sepoi-sepoi saat aku menghadapi pemandangan bukit berwarna hijau dan hamparan rumput. Tekadku bulat menemuimu Git dan aku berbisik, "Git, aku dateng.." Untuk beberapa saat aku merasakan sapuan angin lembut mengusap pundakku sewaktu aku memandang pusaramu (mungkin angin itu kamu?) .. dan aku hanya mampu berkata-kata tanpa suara. "Selamat beristirahat Git.. Aku tahu kamu ada, meski aku tak bisa lagi melihatmu. Terima kasih sudah menjadi sahabat pertamaku.."

Gita Puspita Maheswari (1983 - 2003)

-240410-

14.4.10

In Memoriam Vikky Bintangsyah

Taufik Banua Bintangsyah

November 13th (34 years ago) - April 8th 2010

That afternoon rain was falling down, when i received an sms which told me that Vikky, one of radio announcer in Ninetyniners Bandung passed away. It was on April, 8th 2010. Suddenly, i can't say a word. It's the answer.. after i was waiting for him to come up at his show. Now i know, i won't be able to hear his voice in the air. Not anymore..

I asked my best friend to turn on the radio for me. And in silence i was hearing the announcers updating news about Vikky. Yes.. Vikky passed away and they're playing songs for him. Songs that make the blue afternoon felt so cold. Chrisye - Kala Surya Tenggelam, Peterpan - Tak Ada yang Abadi, 7 Kurcaci - Kembali, Incubus - I Miss You were the songs i remember.

I never knew him well. But somehow i feel that he's a good man. Vikky is one of my favorite announcer while i was in college (around 2001 until 2006). With Noni and Brutus, he ran a morning show, called "Funky in The Morning". It was fantastic! And i enjoyed it very much.

After graduated, i seldom listen to the radio and by that time Vikky didn't run the morning show anymore, because his two friends resigned from the radio.
Later i know that a friend of mine is his brother, and once in a life time i saw him. But at that time he's not in a good condition. Since 2008 Vikky got trouble with his health. He was sent to the hospital because of trouble in digest system.

After that, for a while his life back to normal. He made a new programme in the radio where he used to work in. But it's not long lasting. While i was listening to the radio which keep updating news about Vikky, i knew that he just showed up at his programme few times, because of his health. And at his last visit to the office, he's talking much with friends.. and that became his last words and moment in Ninetyniners.

On February his health getting worse and on April he was taken to the hospital. He stayed for two weeks and finally God called him on April 8th 2010 at 03.35 pm. Vikky passed away because of lymphoma, brain haemorrhage and meningitis. Vikky passed away on the day when his friends held charity event for him and his beloved wife.

That night.. I kept listening to the radio. So many sms from the listeners.. They want to send their deepest condolences to Vikky's family. And many stories from his friends were told on air.. about his goodness, about his hobby to visit many school around Bandung just to buy some school's food, his eating hobby and how he liked to bring chicken noodles from Antapani for his friends, his journey with 7 Kurcaci, and his opinion about Indie Band.

That was a long day.. Remembering a man whom i met and shaking hand once in my life time.

Vikky's funeral was held on Friday, the day after God called him. He was taken to Leles, Garut, to a family's cemetery. I kept listening to the radio that morning. And the radio crew told us that the funeral was finished on schedule.

I think everybody who knows him will continue sending their pray, hope God will give the very best things for Vikky.

Personally, his first and last words for me is.. "Ati-Ati!" He was saying that truly while looked at me in the eye.. Simple.. But until today, i still remember.. At that time he was standing in front of the house, accompanied me who was in a very messy condition, then he said those words.

Rest in peace Radio Star ..
A Star will always be a star, in heart, in mind, and high up above..


Few songs that continue playing for Vikky - some were requested by his closest friends on the day Vikky passed away..

Tanpa terasa. Kini kau telah tiada. Membawa semua kenangan di saat kita bersama. Andai bisa ku berjumpa untuk kembali tertawa. Tapi semua tak mungkin, karena kau tak kan kembali.. Ingin kembali.. jangan kau pergi.. (7 Kurcaci - Kembali)

You have only been gone ten days, But already I'm wasting away. I know I'll see you again. Whether far or soon. But I need you to know that I care, And I miss you.. (Incubus - I Miss You)

Remembering, everything, about my world and when you came. Wondering, the change you'd bring, means nothing else would be the same.Did you know, what you were doing, did you know. Did you know how you would move me well, I don't really think so.. (Mae - We're so Far Away)

Di sini sendiri jauh darimu. Ku lewati, malam sepi memuja. Tanpamu ku rasakan mati, tak seperti saat kau di sisi. Ku merindukanmu.. (Minoru - Merindukanmu)

7.1.10

Awas!! Copet Pura-Pura Kram

Dalam rentang waktu seminggu, saya mendengar tiga kasus pencopetan di angkutan kota. Kasus pertama menimpa tetangga saya, kasus kedua teman saya, dan kasus ketiga sepupu saya.

Ketiga kasus tersebut terjadi di sepanjang jalan Soekarno-Hatta Bandung. Modus dalam ketiga kasus serupa. Para copet bekerja dalam komplotan yang berjumlah tiga hingga empat orang laki-laki. Mereka akan naik ke dalam angkot yang sama, meskipun dari tempat yang berbeda. Setelah beberapa waktu berada dalam angkot, membaca situasi dan mengintai korban-korban mana saja yang potensial, mereka mulai beraksi. Dimulai dengan adegan salah satu copet pura-pura kram, kemudian menggoyang-goyangkan tangannya, lalu mencengkram korban dan membuat penumpang angkot lain panik. Sementara itu anggota komplotan lain, akan menggerayangi perhiasan dan barang-barang milik korban.
Pada kasus pertama yang menimpa tetangga saya, komplotan copet berhasil mendapatkan perhiasaan. Komplotan copet itu telah ada dalam angkot sebelum sang wanita naik ke dalam angkot di sekitar MTC menuju Cibiru. Setelah beberapa waktu, aksi kram terjadi dan si copet mencengkram tubuh sang ibu kuat-kuat. Diduga saat itulah anggota komplotan lain melepas paksa gelang emas yang dipakainya. Kemudian komplotan tersebut turun di sekitar Metro.

Setelah para pencopet turun, salah seorang penumpang di angkot, meminta wanita yang dicengkram tersebut untuk memeriksa barang bawaannya. Wanita tersebut mengatakan bahwa ia tidak kehilangan apa pun. Lalu sang supir menyahut, "Ada perhiasan yang hilang?", dan seketika itu pula wanita itu histeris, karena sadar telah kehilangan gelang emas, yang beratnya lebih dari 10 gram, atau bernilai lebih dari Rp 2 juta. Wanita tersebut hanya bisa terkulai lemas sembari mengutuki ulah pencopet.

Penumpang lain kemudian menceritakan dugaannya pada saya bahwa sang supir angkot juga bekerja sama dengan para penjahat, karena ia menjalankan angkot dengan sembrono dan terus mengerem-ngerem, saat komplotan melakukan aksinya. Dan meski ia mungkin sudah hafal ulah komplotan itu, ia tetap tidak berbuat apa-apa.

Kasus kedua yang menimpa teman saya (4/1), terjadi di sekitar Leuwipanjang-Kopo-Caringin. Ia pun kehilangan perhiasannya yang berupa gelang, saat komplotan copet melakukan modus yang sama, yakni pura-pura kram.

Dalam kasus terakhir yang disaksikan sepupu saya, komplotan copet itu tak hanya pura-pura kram, namun juga pura-pura muntah, setelah beberapa waktu naik dari sekitar Pasar Gedebage menuju Metro. Beruntung dalam angkot ada ibu gurunya di sekolah yang sempat mengatakan, "Hati-hati ya!" sebelum ia bergegas turun dari angkot saat komplotan beraksi. Penekanan yang diberikan sang guru saat bicara membuat sepupu saya tersadar bahwa ia sedang berada dalam bahaya. Sepupu saya yang saat itu sedang menggunakan ponselnya, langsung memasukkan ponselnya ke tas dan segera turun dari angkot. Menurut dia, saat ia membayar ongkos pada sang supir, ia melihat seulas senyum penuh arti. Ia pun memaknakan senyum tersebut sebagai senyum kecut dari seseorang yang gagal dapat mangsa.

Apakah sang supir bekerja sama dengan komplotan copet? Ataukah ia kesal karena penumpangnya kabur lantaran ulah para copet, sedangkan ia tidak bisa berbuat apa pun? Wallahualam..
Namun menurut saya persaingan antar angkutan kota yang tidak sehat, belum lagi tak banyak masyarakat yang kini mengandalkan angkot, mungkin telah mendesak para supir melakukan tindakan di luar hal-hal yang dapat kita bayangkan, demi kejar setoran pada majikan..

Tapi memang semua masih dugaan...

Waspadalah para pengguna angkot!! Jangan memakai perhiasan berlebihan, dan segeralah turun dari angkot saat ada orang-orang yang mencurigakan dan mulai kram atau muntah-muntah..

Jangan lengah!!