Pages

19.5.10

Pangkalan Eretan - Tur Pantura(1)

29 April perjalanan dimulai. Genap seminggu, Pantura Jabar akan saya jelajahi, bersama Amaliya, Hazmirullah, Ag. Tri Joko Her Riadi dan juga driver Hendi. Kami meninggalkan Bandung sekitar pukul 08.00 dengan tujuan pertama Karawang, tepatnya menuju Balai Pengembangan Budidaya Air Payau dan Laut, untuk memenuhi tugas dari kantor, menyusun laporan berseri.

Perjalanan sebenarnya tidak terlampau jauh. Dari tol Cikampek kami hanya harus menuju arah Karawang kemudian Rengasdengklok, tempat dimana dahulu para proklamator diculik, kemudian diminta untuk memproklamasikan kemerdekaan. Namun karena tersasar, kami harus memutar hingga berkilo-kilometer, melewati jalanan rusak, sempit, melintasi perkampungan dan sawah. Berkali-kali kami harus menanyakan pada penduduk setempat, apakah kami menuju arah yang benar. Hingga kami sampai di Kecamatan Pebayuran, Kab Bekasi yang seperti daerah antah berantah. Daerah ini mayoritas dihuni masyarakat berumah-rumah sederhana dan disekelilingnya terhampar pemandangan sawah-ladang, binatang ternak lalu lalang dan saluran-saluran air berukuran besar yang sayangnya jauh dari higienis. Saluran ini selain berisi air, lumpur, juga sampah-sampah plastik dan beragam benda lain. Cukup dulu cerita mengenai lingkungan yang memprihatinkan.

Kami terus memacu kendaraan menuju Rengasdengklok. Menurut informasi seorang penduduk yang kami tanyai, kami harus melewati ‘pangkalan’ untuk sampai ke tujuan. Kami semua bingung dengan istilah ‘pangkalan’, kemudian mulai menebak-nebak. Kami pikir mungkin pangkalan adalah semacam jembatan, karena sepertinya kami harus menyeberangi sungai.

Tak lama kemudian, akhirnya kami paham arti ‘pangkalan’. Ternyata yang dimaksud penduduk dengan ‘pangkalan’ adalah tempat penyeberangan, bukan jembatan. Karena wilayah Kab Bekasi dan Kab Karawang dipisahkan oleh Sungai Citarum, maka untuk sampai di Karawang, kami harus menyeberang. Harap dicatat! Bukan menggunakan jembatan. Tapi dengan sejenis rakit yang digerakkan oleh tenaga manusia. Ada semacam kabel kawat dan katrol yang dikaitkan pada tiang-tiang di daratan. Alat ini melintas di atas sungai dan bekerja layaknya timbaan sumur. Ada dua orang yang bertugas mengerek kabel agar rakit bergerak.

Meskipun sungai yang kami lintasi tidak terlampau dalam, perasaan was-was sempat singgah juga, mengingat mobil yang kami kendarai harus dinaikkan ke atas rakit kayu, yang tingkat keamanannya, ah entahlah! Rakit ini juga memang hanya pas untuk satu mobil. Pas sekali! Bersyukur.. aktivitas menyeberangi sungai ini berakhir kurang dari lima menit. Kami dikenakan biaya Rp 10.000 dan bagi masyarakat yang menggunakan kendaraan roda dua harus membayar sekitar Rp 1.000.
Turun dari ojek rakit yang bernama ‘Eretan’ ini, kami tinggal beberapa langkah lagi menuju tujuan. Harus lekas sampai, karena sudah lewat tengah hari dan perut mulai sulit diajak kompromi.

"Bersiap Menyeberang"


"Eretan"


"Lintas Citarum"

17.5.10

Cuci-Mencuci

Tadinya saya berpikir ini terlalu remeh untuk di-posting. Tapi saya pikir ulang, gak ada ruginya, untuk mengisi label serba-serbi di Corner of Others.

Jadi begini.. Tereman-karawan pasti pernah lihat iklan sabun cuci kan? Alias detergent. Yang katanya sekali kucek noda langsung hilang?? Saya terus terang heran bin takjub, buat saya iklan-iklan itu terlalu bombastis. Padahal kenyataannya noda yang sudah dikucek sampai tangan lecet juga belum tentu hilang, kalau nempelnya sudah berhari-hari. Tapi saya juga takut sih kalau lantang bilang mereka melakukan pembohongan publik. hehe.. Dan yang belakangan saya tahu, detergent juga ternyata tidak seampuh sabun mandi. Buktinya begini, noda darah yang baru melekat kurang dari satu hari di pakaian, lebih mudah hilang saat dikucek pakai sabun mandi. Kalau pakaian yang bernoda cuma direndam di detergent doang, ga dijamin nodanya hilang. Bukti kedua ampuhnya sabun mandi adalah pada noda lumpur. Belakangan cuaca terus-menerus hujan dan untuk yang naik motor dengan menggunakan kaus kaki, dijamin kaus kakinya kecipratan lumpur.

Beberapa hari yang lalu kaus kaki pink saya kena lumpur dan karena saya malas mencuci, saya rendam saja di detergent semalaman. Lalu besok paginya saya tengok, ternyata noda lumpurnya masih nempel. Penasaran dan sedang agak rajin, saya kucek kaus kakinya pakai sabun mandi. Dan hasilnya?? Warnanya kembali ke asal, lumpurnya hilang!! Jadi, ibu-ibu, cewek-cewek dan bapak-bapak yang kebagian urusan cuci-mencuci. Cobalah sabun mandi untuk pakaian bernoda, khususnya untuk noda darah dan lumpur yang masih baru.

Selamat dan sukses ! Wilujeung nyeuseuh!

11.5.10

Molukkenpark

Taman Maluku - Molukkenpark, 23 April 2008

Sore itu sekitar pukul 17.00, saya mengunjungi sebuah taman kota yang terletak di antara Jalan Ambon, Seram, dan Aceh di Kota Bandung. Sebuah lokasi yang sering dilewati, namun mungkin jarang diperhatikan dengan seksama. Bahkan mungkin tak banyak yang tahu bahwa di taman ini terdapat patung seorang pastur, yang bernama H. C. Verbraak. Patung ini terletak di sudut taman yang berbatasan langsung dengan kompleks perkantoran milik TNI di Jl. Seram. Keberadaannya memang tak banyak disadari, karena tertutupi dahan-dahan pohon.

Taman ini sekarang dikenal dengan nama Taman Maluku. Pohon-pohon dengan usia puluhan dan ratusan tahun menghuni taman yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda ini. Dahulu taman ini bernama Molukkenpark. Selain pohon-pohon besar, terdapat pula tanaman berupa semak-semak, rumput, dan sedikit bunga-bungaan. Seharusnya ada keterangan tentang jenis pohon-pohon yanga ada di taman ini. Keterangan tersebut dituliskan pada sebuah papan dan diletakkan dekat dengan pohon yang dimaksud. Namun sisa papan yang ada hanya tinggal sebuah dan bertuliskan "pohon damar".

Di tengah-tengah taman terdapat sebuah kolam, dengan ornamen air mancur di tengahnya. Sayang, kolam tersebut tampak sudah tidak berfungsi lagi. Dasar kolam tampak jelas dan hanya ada sisa air hujan yang menggenang di sana. Fasilitas lain yang dimiliki taman ini adalah jalan setapak, saluran-saluran air, dan tempat untuk duduk-duduk. Namun tak tampak penerangan yang memadai, sehingga jika malam hari tiba, taman ini mungkin nyaris gelap gulita.

Sore itu tampak tiga orang sedang duduk-duduk di bangku taman, dan seorang perempuan membereskan pakaian yang telah dijemur di atas semak-semak sejak siang hari. Saat dihampiri dan ditanyakan nama serta aktivitas yang mereka lakukan di taman ini, mereka menjawab ramah. Dua orang yang memperkenalkan diri, kita sebut saja Tati dan Markus.

Tati adalah seorang perempuan berusia sekitar 20 tahun. Ia mengaku sudah sejak lama sering berada di taman ini karena tidak punya tempat tinggal. "Saya kabur dari kampung, daripada selalu bikin malu dan dimarahi orang tua," ujar Tati. Keputusannya untuk lari dari rumah diawali oleh suatu kejadian aneh yang menyebabkannya merasa tidak lagi normal. "Saya dulu pernah mati tapi bangun lagi. Waktu itu saya mati jam 3 pagi. Saat keluarga sudah mempersiapkan pemakaman eh.. jam 6 saya bangun lagi. Sejak itu kelakuan saya gak normal. Jadi kayak anak kecil. Untung di Bandung saya ketemu dengan Mas Markus. Saya ikut dia sekarang," kata Tati lagi.

Seusai Tati bercerita, giliran Markus yang bersuara. Di samping Markus tampak seorang perempuan dengan tatapan kosong sedang menghisap rokoknya. Potongan rambut dan pakaiannya nyaris menyerupai laki-laki. "Ini istri saya. Dia kena gangguan jiwa. Tiga orang ini ikut saya," ujar Markus sambil menunjuk seorang laki-laki lain yang sedang jongkok dan menyembunyikan wajahnya.

"Kami mencuci pakaian di sini, dengan memakai air selokan. Tidur di sini juga. Kalau hujan ya kami tidur di emperan toko. Kami tidak punya pekerjaan. Untuk makan kami minta sedekah pada orang-orang," tutur Markus lagi. Sore itu udara cukup dingin. Langit mendung pertanda hujan akan segera turun. Namun Tati, Markus dan istrinya, serta seorang laki-laki lain belum beranjak kemana pun. Mungkin berharap rimbunnya pepohonan bisa melindungi mereka dari guyuran hujan dan dinginnya angin.

***

Keesokan harinya saya berkunjung ke tempat yang sama. Waktu menunjukkan pukul 10.30 saat saya berjalan memasuki taman. Di saluran air yang ada dalam kompleks taman terlihat seorang lelaki berusia sekitar 60 tahun sedang mencuci pakaian dengan air yang mengalir di selokan tersebut. Beberapa meter kemudian di bangku taman terlihat sepasang muda-mudi sedang bercengkrama. Saya pun berlalu dan mengarahkan pandangan ke tempat saya bertemu empat orang yang unik sehari sebelumnya.

Ternyata saya masih menjumpai Tati, Markus dan istrinya. Mereka belum beranjak dari tempat mereka kemarin. Markus terlihat sedang membereskan alas tidurnya, sedangkan Tati sedang duduk sambil menggaruk-garuk kepalanya di bangku taman. Setelah menyapa mereka, saya kembali melanjutkan perjalanan berkeliling taman.

Di sisi lain taman yang berbatasan dengan GOR Saparua, saya melihat seorang ibu dan ketiga anaknya. Anak sulungnya berusia sekitar lima tahun. Mungkin mereka penghuni lain taman ini. Anak yang paling kecil berada dalam dekapan ibunya. Sedangkan kedua kakaknya yang tidak bercelana bermain di saluran air.

Tanggapan? Hmm.. Saya tidak tahu harus berpendapat apa. Setidaknya masih ada ruang terbuka hijau bagi mereka di kota Bandung ini. Taman kota untuk para tuna wisma.

"Kabur" -nya Sejarah Taman Kota Bandung

Fakta bahwa banyak catatan sejarah yang "kabur" di negeri ini mungkin sudah kita ketahui sejak lama. Entah memang sengaja dikaburkan atau "hilang". Ternyata tak hanya dokumen asli supersemar yang patut kita pertanyakan, tapi juga catatan sejarah mengenai hal-hal yang kita anggap kecil, seperti catatan tentang bangunan tua, monumen, bahkan taman kota. Kita perlu catatan mengenai hal-hal kecil tersebut, karena bangunan tua, monumen, dan pohon-pohon dengan umur ratusan tahun tak mampu berkata-kata. Catatan kecil nan penting itu lah yang kita butuhkan, untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu. Bertanya pada sumber utama, bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Setelah puluhan tahun berlalu, mungkin mereka pun sudah kembali pada-Nya.

Prinsip yang lalu biarlah berlalu ternyata tak berlaku bagi sejarah. Catatan kekhilafan masa lalu pun ternyata patut disimpan rapi, dikaji ulang, diresapi, dan diantisipasi, supaya sejarah "kelam" tak terulang lagi.

Kekecewaan saya pada catatan sejarah di Indonesia muncul saat saya mencoba untuk menggali sejarah taman-taman kota yang ada di Bandung. Beberapa taman besar yang kita miliki dan nikmati saat ini adalah peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda. Itu adalah fakta yang tak bisa dipungkiri. Meskipun saya merasa banyak usaha telah dilakukan untuk menghilangkan "bau" Belanda dari Kota Bandung sejak revolusi.

Setelah Indonesia merdeka, sekitar tahun 1950, pemerintah saat itu melarang penggunaan Bahasa Belanda dalam kehidupan rakyat. Salah satu manifestasi keinginan pemerintah saat itu adalah dengan mengganti nama-nama taman yang ada di Kota Bandung dengan nama "berbau" Indonesia. Pieterspark diganti namanya menjadi Taman Merdeka, Insulindepark menjadi Taman Nusantara, dan Ijzermanpark menjadi Taman Ganesha.

Pieterspark dan Ijzermanpark merupakan taman yang dibangun untuk menghormati jasa Tokoh Belanda di masa kolonial, atau dapat dikatakan merupakan "Taman Peringatan". Di masing-masing taman tersebut berdiri patung tokoh penting Belanda yaitu Pieter Sijthoff, seorang Asisten Residen Bandung dan Dr. Ir. Ijzerman, seorang pegawai jawatan kereta api yang berjasa besar dalam pendirian Technise Hogeschool (THS) atau yang sekarang bernama ITB.

Tak hanya mengganti nama, diperkirakan tahun 1950-an pemerintah juga melakukan pembongkaran terhadap patung-patung tokoh Belanda di Bandung. Satu-satunya patung yang tersisa adalah Patung Pastor Verbraak yang masih berdiri tegak di Taman Maluku hingga hari ditulisnya catatan ini.

Tindakan pemerintah membongkar patung-patung tersebut menurut saya sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Rasa sakit akibat penjajahan Belanda memang perlu disembuhkan. "Menghapus Jejak" Belanda mungkin menjadi soundtrack Indonesia kala itu. Namun sayang sungguh sayang, penghapusan jejak ini ternyata menghilangkan fakta-fakta dan bukti-bukti otentik yang penting bagi catatan sejarah.

Buktinya kini sulit bagi saya (dan mungkin pengamat sejarah lainnya) untuk menemukan catatan resmi kapan patung-patung tersebut dibongkar dan dimana sebenarnya patung-patung tokoh Belanda itu kini, dan bagaimana kondisinya apakah masih utuh atau tinggal keping-keping. Bahkan seorang sejarawan yang saya temui pun angkat tangan saat ditanyakan keberadaan patung-patung tersebut.

Namun, tetap ada hikmah atas semua yang telah terjadi. Untuk yang hidup hari ini dan mungkin melakukan sesuatu yang mungkin berarti buatlah dokumentasi. Mungkin suatu saat generasi mendatang membutuhkan catatan kita hari ini. Catatan sejarah tak bermaksud menghakimi siapa yang benar dan salah, siapa yang menjajah dan terjajah. Ia hanya mencatat fakta atas apa yang telah terjadi, tindakan dan perubahan kehidupan manusia dari masa ke masa.. Semoga kita cukup bijaksana..

-150508-

8.5.10

Our Strong Little Girl


Usianya belum genap lima, saat menjalani serangkaian ujian hidup. Berkenalan dengan pria dan wanita yang selalu berbaju putih, bau antibiotik, jarum suntik, selang infus, selang oksigen dan segala pantangan yang katanya demi kesehatan.
Tapi Indira tetap tenang, tak banyak bicara, meski tergolek lemah dan pasrah kapan saja petugas berbaju putih mengambil sampel darahnya. Ia hanya sesekali minta didudukkan, karena sudah jengah berbaring. Ketika sudah diperbolehkan makan dan ditanya mau makan apa, ia menjawab "Mau ayam KFC." Mendengar jawabannya saya tersenyum. Ada perasaan campur aduk saat menatapnya. Saya salut!! Gadis ini kuat..
Indira adalah keponakan dari sahabat saya. Ia didiagnosis mengidap leukemia. Tak ada riwayat penyakit ini dalam keluarga. Sebelumnya Indira hanya pernah terkena malaria. Tidak ada penjelasan yang komprehensif untuk pertanyaan "Kenapa ini bisa terjadi pada Indira?"
Saya hanya satu kali bertemu Indira, itupun di rumah sakit, tepatnya 6 April 2010. Ia tidak tampak seperti anak-anak dengan penyakit berat. Sedikit sekali mengeluh, walaupun ruangan anak di rumah sakit itu jauh dari nyaman, cenderung pengap. Titik-titik bekas jarum suntik nyata di bagian tangan dan kakinya, karena ia harus diambil darahnya secara periodik, untuk mengetahui perkembangan kadar eritrosit, trombosit dan leukosit dalam tubuhnya.
Untuk seorang anak dengan penyakit berat, Indira tidak pernah mengeluh lebih dari keluhan-keluhan orang yang masuk angin. Meski kami juga tidak pernah tahu apa yang sebenar-benarnya ia rasakan.
Kami tidak bisa menanyakan apa yang sebenarnya Indira inginkan. Tapi pada suatu hari gadis cantik ini pernah bicara tentang "pulang". Kepada ibunya, ia mengutarakan pemahamannya tentang Tuhan. Ia menanyakan tentang surga. Ia menyatakan bahwa semua adalah milik Tuhan. Ia jiwa yang tenang. Ia tahu kemana akan pulang. Di antara keinginan dan kepasrahan, doa yang terlantun dari sahabat saya adalah semoga gadis kecil ini sembuh dan mendapatkan yang terbaik dari-Nya.
Usai menjenguk Indira, saya dan sahabat saya pergi makan siang di sebuah restoran cepat saji. Kebetulan.. saat itu pihak restoran sedang menyiapkan acara ulang tahun bagi seorang anak. Saat kami melihat papan ucapan selamat ulang tahun, ternyata yang akan berpesta adalah seorang gadis kecil lain yang juga bernama Indira. Dan kebetulan pula tak lama lagi Indira kami juga akan berulang tahun. Tuhan seringkali menciptakan "kebetulan" yang direncankan. Saat itu kami hanya berharap Indira dapat merayakan ulang tahunnya yang kelima dalam keadaan yang lebih baik.
Tak berapa lama dari hari saya menjenguknya, Indira meminta pulang. Namun dokter belum membolehkan, karena suhu tubuhnya masih tinggi dan ada bercak-bercak di tubuhnya. Namun akhirnya Indira diperbolehkan pulang. Sesampainya di rumah, kondisi Indira jauh membaik, panasnya turun dan bercak-bercak di tubuhnya menghilang. Hari-harinya di rumah ia habiskan bersama adiknya. Salah satu alasannya ingin pulang juga karena kangen pada adik semata wayangnya.
Setelah beberapa hari di rumah, kondisi Indira kembali menurun, tanggal 18 April ia kembali dibawa ke rumah sakit setelah menjalani pengobatan alternatif. Indira sempat menginap semalam di rumah sakit dan rencananya akan mendapat transfusi di pagi hari. Namun ternyata tubuhnya sudah menolak transfusi. Yang Maha Penyayang rupanya sudah menginginkannya "pulang"..
Kaget dan kehilangan. Itulah perasaan yang mewarnai pagi itu, setelah sahabat saya menelfon dan memberi tahu kondisi terakhir Indira. Meski mungkin inilah jalan terbaik yang diberikan Tuhan, bukan hanya untuk Indira, juga untuk semua yang pernah mengenalnya.
Kepergian Indira semakin membuat saya yakin, bahwa semua orang punya waktu untuk pulang. Dan pada saat waktu itu tiba, apakah sudah tahu arah kemana kita akan menuju? Apakah kita bisa bercerita tentang Tuhan dan surga selancar cerita Indira?

Rest in peace Our Lovely Indira. You have won a battle called life and you know where to go next. We hope we can see you high up above..

Indira P. Aulia (2005 - 19 April 2010)
My best friend's (Kania Dewi Natalia) niece

More about Indira
http://littlemebigme.blogspot.com/2010/05/end-of-battle.html

*In the few last months, i met two persons once in my life time, but it seems that they teached me about life. Ironically, i can't meet both of them in this life again. I just can say, "Rest in Peace. C U high up above."

@Kania.. thanks banget buat fotonya.. :)