Pages

19.10.11

A.p.a.r.a.t.

Suatu hari di persimpangan yang ramai. Lampu yang mengatur arus lalu lintas dari timur ke barat menyala hijau. Namun, tiba-tiba seluruh kendaraan dari arah tersebut harus berhenti total. Seorang pria tinggi besar, berseragam berdiri tegak di tengah perempatan dan memberi aba-aba agar kendaraan dari arah selatan ke utara yang seharusnya masih mendapat giliran lampu merah dapat melaju. Tak berapa lama, sirine khas kendaraan dinas bergaung dan muncullah beberapa kendaraan dinas dengan kecepatan tinggi. Setelah kendaraan terakhir berhasil melewati perempatan yang terkenal hampir selalu padat oleh kendaraan itu, sang aparat melompat kembali ke kendaraannya, meninggalkan pengendara-pengendaran lain yang bersitegang di tengah persimpangan. Ada yang berteriak-teriak. Ada yang menunjuk-nunjuk. Semua bingung dengan lalu lintas yang tiba-tiba semrawut dan tidak sesuai dengan lampu lalu lintas.

30.9.11

Agama dan Keajaiban

Hanya berpikir bahwa manusia masa kini sangat logis, teknis, dan mekanis. Penjelasan tentang sesuatu terbatas hanya pada tataran yang terjelaskan secara logika. Segala daya dan upaya pun dikerahkan dengan keyakinan bahwa semua tergantung pada USAHA diri sendiri, sehingga apapun dilakukan demi tercapainya tujuan. Entah itu sikut kiri-sikut kanan, atau menghancurkan usaha atau bisnis orang lain, karena berdasarkan perhitungan di atas kertas, untuk mengembangkan bisnis dan meningkatkan keuntungan maka harus "mematikan" yang lain. Manusia kini masih meyakini sesuatu, yakni perhitungan matematika yang konon tak pernah berbohong. Sesuatu yang sejelas 1+1=2.

Sementara pada masa kanak-kanak dunia dipenuhi dengan dongeng dan keajaiban. Teringat pula saat belajar agama untuk pertama kalinya dan disodori perihal iman dan rukunnya, manusia diminta untuk meyakini sesuatu yang tak kasat mata. Cerita tentang Tuhan, Malaikat, dan takdir adalah sesuatu yang tak nampak pada penglihatan. Sementara kisah tentang Nabi dan Rasul adalah kisah yang telah diturunkan secara turun temurun selama ribuan tahun.

Yang tertinggal kini adalah kitab suci, yang berkisah tentang Sang Maha, Malaikat, Nabi dan Rasul-Nya, hari akhir, juga takdir. Sayangnya, kitab suci pun bukan bacaan favorit manusia masa kini.

Lalu apa arti agama saat ini? Sesuatu yang dilekatkan pada diri demi sebaris status di kartu tanda penduduk? Ataukah sesuatu yang diyakini berikut sederet konsekuensi? Namun, itu pun jika beragama dikaitkan dengan beriman. Dan dalam agama yang saya yakini, setelah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain "Dia", maka ada konsekuensi untuk beriman, dan itu bukan hanya pada Tuhan, tetapi pada hal-hal yang sudah dijelaskan di atas.

Diceritakan bahwa tiap manusia memiliki Malaikat pendamping di kiri-kanan, juga di depan dan di belakangnya. Jika demikian ada berapa miliar Malaikat yang telah diciptakan Tuhan? Berpikir tentang keajaiban ternyata tidak sederhana, juga tidak mudah mempercayainya.

Namun manusia senantiasa mengharapkan kedatangannya, manakala segala upaya terus membentur "dinding" yang sama, atau kala marabahaya di depan mata.

"Dan mereka bersinar, dalam kilau matahari di suatu pagi. Aku tersentak mengingat jumlah tak terhingga, angkasa, langit, bumi, angka, dan mengapa 1+1 tidak selalu sama dengan dua. Mengharapkannya dalam tiap jengkal usaha.."

25.9.11

Tiga Titik Hitam

Tinggal di Bandung? Tahu Burgerkill? Biasanya tahu. Minimal dari stiker-stiker yang ditempel di motor-motor anak-anak begundal atau pecinta "BK". Biasanya ada angka "666" nya juga.

Terus? Engga terus.. terus sih.. Cuma BK baru aja konser di Stadion Siliwangi Sabtu kemarin (24/9). Terus? Nonton? Engga. :D Engga tau lagu-lagu BK. Cuma kemaren timeline twitter saya rame sama konser BK. Terus penasaran pengen denger lagu BK. Dan teringatlah BK pernah nyanyi bateng Fadly "Padi" yang dua hari sebelumnya berkunjung ke kantor saya. *Ehh.. terus hubungannya?? :D

Lalu dengan daya upaya dapat lah lagu "Tiga Titik Hitam"

Dan ini sebagian kata-katanya...

"Teriakan namamu .. Di kesunyian hatiku .. Meraba merangkul suryamu .. Di kehangatan jiwamu"

Kesimpulan saya -> Lagu ini enak. titik.


5.7.11

Loper Susu Segar

Pernah dengar istilah loper koran? Pasti masih sering. Kalau loper susu? Mungkin sekarang itu adalah istilah yang aneh. Untuk daerah Bandung, mungkin yang kita tahu adalah mang-mang tukang susu murni yang berjualan di komplek perumahan atau sekitar TK/SD. Mungkin ia punya beberapa langganan, tapi mungkin kebanyakan dagangannya dibeli oleh anak-anak atau orang yang sedang ingin minum susu saja. Tidak ada langganan tetap. Sementara pada zaman Belanda dulu, susu murni yang masih segar diantar oleh loper sampai ke rumah-rumah. Tentunya loper-loper ini sudah punya langganan tetap. Bisa jadi sistem pembayaran susu pun dilakukan per bulan, seperti sistem berlangganan koran saat ini.

Kalau Bandung punya Cikapundung yang merupakan tempat dropping koran oleh agen-agen ke pengecer, maka untuk susu segar, kota ini punya BMC atau Bandoengsche Melk Centrale, yang berlokasi di Jalan Aceh. Setiap pagi susu murni dari peternakan-peternakan di Pangalengan diantar ke BMC. Susu segar tersebut kemudian disambut para loper yang siap mengantar berbotol-botol susu ke meja makan tuan dan nyonya, sebagai salah satu menu sarapan.

Saya tidak tahu persis gambaran loper susu pada masa itu. Namun dalam bayangan saya mereka mengayuh sepeda mengelilingi kota dengan kantong-kantong yang menampung botol susu di bagian belakang sepeda. Mereka mengetuk pintu-pintu rumah, atau meletakkan susu di tempat yang sudah disediakan. Kemudian susu-susu tersebut diambil oleh babu-babu yang bekerja di rumah gedong, dihangatkan sebentar, kemudian disajikan di meja makan.

Umur susu segar alami tidaklah lama. Oleh karena itu, harus sesegera mungkin didistribusikan dan dikonsumsi. Apalagi kotak pendingin atau kulkas pun mungkin pada masa itu belum banyak dimiliki.

Sekarang memang sudah banyak teknologi yang digunakan untuk memperpanjang waktu simpan susu. Pasteurisasi adalah proses pemanasan yang paling sederhana. Ada pula susu UHT, atau susu yang dipanaskan dengan temperatur 135-145 derajat Celcius, selama dua hingga lima detik. Dengan metode ini, susu cair akan tahan disimpan enam hingga sepuluh bulan. Kemudian ada metode untuk mengkonversi susu segar menjadi susu bubuk, yang tahan disimpan hingga dua tahun.

Semua teknologi memang memberi manfaat pada manusia, sekaligus juga menghilangkan beberapa aspek sosial. Sejak puluhan tahun lalu, kita tidak lagi menunggu kedatangan loper susu. Tidak ada silaturahmi antara peminum dan pengantar susu. Profesi loper susu pun menghilang. Jika ingin minum susu, kita tinggal mencari penjaja susu murni keliling, datang ke warung atau mini market yang menjual susu UHT, atau menyeduh susu bubuk. Aneka merek susu cair dalam kemasan dan susu bubuk berjajar memenuhi rak-rak supermarket.

Kita juga dijejali berbagai pengetahuan bahwa susu UHT dalam kemasan dan susu bubuk lebih sehat, lebih higienis dan bebas dari bakteri "mematikan". Akibatnya, susu segar kehilangan pasar. Meminum susu segar hasil perahan yang murni dan tidak diolah atau dicampur zat apapun sama dengan memasukkan aneka bakteri ke dalam tubuh kita. Proses pasteurisasi atau memanaskan susu secara sederhana juga belum tentu mampu membasmi aneka bakteri yang terkandung dalam susu. Jadi yang harus kita percaya adalah bahwa untuk mengonsumsi susu sapi yang sehat, kita harus membeli susu merek terkenal yang sudah teruji dan terbukti paling higienis. Apakah semua ini benar atau hanya taktik dagang semata? Mungkin memang benar bahwa susu merek terkenal adalah susu yang higienis dan terjamin mutunya, karena industri pengolahan susu besar hanya menerima susu perahan terbaik dari peternak. Sementara susu kw II kemudian diolah menjadi susu kemasan bermerek tidak terkenal, yang konon rentan dicampur formalin atau bahan kimia lain, demi memperpanjang usia susu. Namun bahkan susu bermerek terkenal pun akhirnya tidak lepas dari isu berbakteri dan berformalin, terutama susu bayi yang marak diberitakan beberapa tahun belakangan.

Untuk yang masih berkesempatan menikmati susu yang benar-benar segar, hasil perahan sang peternak, mungkin tips mengolah susu ini bisa dicoba. Masukkan susu ke dalam panci, lalu campur susu dengan sedikit kopi dan gula, sebagai pemberi rasa dan aroma. Karena susu murni rasanya cenderung lebih enek. Panaskan susu sambil diaduk-aduk hingga mendidih, supaya susu tidak pecah. Kemudian matikan api dan nikmati susu selagi hangat. Susu segar ini akan terasa jauh lebih nikmat, lebih gurih dan lebih kental daripada susu dalam kemasan. Sesudah dikonsumsi dan susu sudah tidak panas lagi, segera masukkan ke lemari pendingin. Susu segar masih layak dikonsumsi hingga beberapa hari ke depan.

Selamat tinggal loper susu...

20.5.11

Empat Remaja di Perempatan

Empat orang remaja perempuan berteriak-teriak di sebuah perempatan selepas isya. Dua orang berbaju mini, celana pendek, kaus ketat dengan tali bra warna mencolok yang dililitkan ke leher. Seorang dengan celana pendek membawa tas dengan tali hitam-kuning bertuliskan "police line". Dua di antara mereka memegang rokok dan menghisapnya sembari berjalan.

Mereka berkata-kata dengan kosakata khas jalanan kota ini. "Anjingg, tukeuran atuh!" Sayup-sayup terdengar lagi, "Ngaliwat kamana anjing?" Mereka berbicara nyaris berteriak, saat ingin menyebrang di perempatan besar yang nyaris selalu ramai itu.

Dandanan mereka memang menyolok. Dengan make up ala gothic yang terbilang "nanggung", lipstick asal hitam dan rias mata asal hitam, mereka berkeliaran di perempatan. Entah hanya nongkrong, atau sembari mengamen. Gerombolan itu cukup menarik perhatian. Usia mereka mungkin belum genap 15 tahun.

***

Besok malam, gadis bercelana pendek itu muncul lagi di perempatan yang sama. Kali ini ia sendirian. Berlenggak-lenggok di jalanan, entah menyebrang, entah hanya berkeliaran. Entah mencari apa. Sedangkan kami terkesima...

-Soekarno-Hatta, pada suatu malam-

18.2.11

Sarapan Mahal!

Siapa pun pasti tidak asing dengan restoran siap saji yang mengepung kita dari segala penjuru. Persaingan antar "mereka" sendiri pun sudah tentu gila-gilaan. "Mereka" yang sanggup bertahan hingga belasan, bahkan puluhan tahun di Indonesia, pasti punya strategi dan inovasi. Beberapa hal yang nyata terlihat, yaitu ekspansi, diversifikasi produk dan tak lupa promosi.

Makanan siap saji hampir identik dengan anak-anak dan remaja. Banyak anak-anak merengek pada orang tuanya untuk pergi ke restoran siap saji demi mendapatkan mainan yang bisa didapat dengan membeli menu khusus anak-anak. Sementara remaja sangat akrab dengan restoran siap saji, karena mungkin di tempat itu melekat imej "keren dan gaul". Melalui imej itu pula, restoran siap saji mencoba memikat konsumen yang rata-rata berumur di bawah 40 tahun, dimana "nongkrong" masih menjadi bagian utama dalam rutinitas dan rasa makanan yang cenderung hambar-hambar saja tidak masalah di lidah. Oleh karena itu, tak heran jika restoran siap saji tampak berekspansi dengan berlomba-lomba membangun tempat "nongkrong" paling keren di seantero kota, yang dilengkapi dengan aneka fasilitas seperti hot spot, tv cable, interior menarik, sofa empuk dan tak lupa keterangan "Open 24 Hours". Jika pun tak buka 24 jam setiap hari, beberapa gerai restoran siap saji, akan khusus buka 24 jam pada akhir pekan.

Tengoklah Bandung, di satu jalan yang sama di daerah sekitar pusat kota, berderet restoran siap saji siap "baku hantam" satu sama lain. Jika satu "merek" buka di sebuah jalan, tak lama "merek" yang lain akan berdiri. Sepertinya mereka tak akan berhenti berkejaran.

Selain membangun gerai mentereng, restoran siap saji juga berlomba menawarkan "paket hemat" dengan menu menarik. Ada yang secara rutin mengubah-ubah pilihan paket murahnya. Ada pula yang menciptakan menu-menu baru dengan basic yang sama , yakni aneka olahan makanan dari ayam, minuman dan es krim.

Nah, terakhir yang saya amati, ada pula yang mulai melakukan diversifikasi produk. Jadi mereka tak lagi fokus menjual ayam, namun juga aneka kue berikut minuman. Mereka pun menamakan gerai kecil tersebut "... Cafe" (tidak sebut merek). Nah, di cafe ini pengunjung yang hanya ingin minum dan makan makanan ringan dapat pula mencicipi nikmatnya "nongkrong" dan bersantai.

Saya memang bukan pengamat setia restoran siap saji, tapi baru-baru ini saya melihat pola yang sama, yakni perlombaan menyajikan menu sarapan. Jika dahulu restoran-restoran itu buka paling pagi sekitar jam 10 atau 11. Kini mereka mulai buka pukul 6 atau 7 pagi. Untuk apa? Tentu, untuk membidik konsumen berduit yang kebingungan mencari menu sarapan. Untuk menyesuaikan dengan lidah konsumen Indonesia, menu yang mereka tawarkan lazimnya bubur ayam, roti (sandwich), teh dan kopi.

Kebetulan menu sarapan yang pernah saya coba adalah secangkir teh dan sejenis pancake yang dioles mentega dan sejenis sirup. Untuk menu sarapan tersebut saya harus merogoh kocek sekitar Rp 20.000. Kesan saya, biasa saja.. Sekali lagi Rp 20.000 hanya untuk secangkir teh hangat dan sejenis pancake beroles mentega dan sirup esen buah impor (*catat hanya esen).

Ayo bandingkan dengan sarapan "real Indonesia", semangkuk bubur ayam atau sepiring kupat tahu plus teh manis panas. Kalau dihitung-hitung, paling habis Rp 8.000 saja. Jika mau berpikir dan berhitung lebih jauh, ke mana kah larinya si Rp 8.000 itu? Sederhananya, jelas untuk si penjual dan keluarganya, jika ia sudah berkeluarga. Sekarang, bandingkan dengan Rp 20.000 di atas, ke mana kah larinya? Pasti masih ada untuk pribumi, toh karyawan/ti di perusahaan itu semuanya pribumi. Penghasilan mereka ya dari produk yang berhasil dijual. Namun kita semua juga tahu bahwa restoran siap saji itu waralaba dari luar, jadi berapa persen uang yang lari ke luar negeri? Lebih banyak atau lebih sedikit dari yang dinikmati pribumi?? (*Saya juga tidak tahu, jika ada yang tahu, tolong saya diberi tahu..)

Tulisan ini bukan mengajak anti-restoran siap saji. Dasarnya hanyalah ketidakpuasan saya untuk membayar sarapan seharga Rp 20.000, karena biasanya beli kupat tahu Rp 6.000 sepiring rasanya lumayan dan yang pasti kenyang. Tapi kalau tidak ada yang "sarapan mahal" atau "makan mahal" di restoran-restoran itu, lantas bagaimana nasib pekerjanya?

Saya hanya berharap semoga keuntungan restoran-restoran itu yang ditransfer ke luar negeri sebanding dengan yang diserap pribumi..

13.2.11

Jayanti - Rancabuaya (Jabsel 5)

Tampaknya tulisan ini harus segera diselesaikan, setelah smartphone hilang dan yang tersisa tinggal kepingan ingatan.. Jadi mungkin tulisan ini tidak akan berada dalam level akurat, hanya yang teringat..

***

Dari Pantai Apra kami melanjutkan perjalanan ke Jayanti, yang konon katanya di daerah sini banyak penginapan. Dari jalan utama, kami mengikuti petunjuk arah dan berbelok ke kanan. Kami menyusuri jalan menuju pantai dan memang benar ada sekitar dua buah penginapan di sini. Akhirnya setelah mengikuti jalan hingga sampai ke pantai, kami berbalik arah dan memilih penginapan ternyaman.

Fasilitas penginapan ini memang lumayan, ada AC, dispenser dan televisi. Namun sayang seribu sayang.. Ternyata dispensernya tanpa air mineral, televisi antenanya rusak dan AC mati-hidup karena kurang daya. Oh Tuhan.. ini bencana.. Ketidaknyamanan pun berlanjut dengan ditemukannya bekas lotion anti nyamuk. Artinya, di daerah ini banyak nyamuk!! Dan benar saja baru beberapa menit diam di dalam kamar ngguiingg nguingg nyamuk datang dari segala penjuru.

Tak berhenti sampai di situ, ketika akan mandi, air tiba-tiba mati dan keadaan ini diperburuk dengan mati lampu. Ketika kami berkeluh kesah pada penjaga penginapan ia hanya berkata, "Teh, di sini memang sering aliran (mati lampu)." Dan jadilah sepanjang malam, kami sibuk berlindung di balik selimut, agar tidak dibantai nyamuk-nyamuk yang kelaparan dan sesekali tepuk sana sini untuk mengusir nyamuk. Ketepak..ketepok.. itulah suara yang terdengar nyaris sepanjang malam.

Pagi hari kami bangun, dalam keadaan masih lelah. Namun kami ingin segera beranjak dari Jayanti. Sebelumnya, kami sekali lagi mengunjungi pantai yang tetap sepi. Perahu-perahu disandarkan, tak ada yang berjualan, tak ada pengunjung lain. Hanya tampak seorang wanita yang sepertinya terkena gangguan jiwa, sedang mondar mandir di sekitar pantai dan mencuri-curi pandang ke arah kami.

Usai "merekam" keadaan Pantai Jayanti, kami melanjutkan perjalanan ke Rancabuaya, yang konon tidak jauh lagi jaraknya. Kami sangat menikmati perjalanan ini. Boleh jadi, perjalanan dari Jayanti hingga Rancabuaya adalah rute dengan pemandangan terindah dan jalan termulus.

Ini adalah papan penunjuk arah dari Rancabuaya menuju Cidaun

Dalam perjalanan menuju Rancabuaya, di sebelah kiri jalan, kita akan melihat pemandangan sungai dan hamparan sawah yang menghijau. Sementara di sebelah kanan, muara sungai dan pantai yang tenang atau yang bergelombang tinggi. Sungguh luar biasa!


 Pemandangan sebelah kanan


Pemandangan sebelah kiri

Kurang dari sejam setelah berangkat dari Jayanti, kami sampai di Rancabuaya, yang ternyata kondisi daerahnya jauh lebih maju dari Jayanti. Terdapat lebih banyak pilihan penginapan di daerah ini. Masyarakatnya pun banyak yang membuka warung-warung makan. Pagi itu, meskipun tidak terlalu ramai, masih ada pedagang yang beraktivitas di pasar ikan, sementara nelayan-nelayan yang sedang libur melaut, duduk-duduk santai di sekitar pantai
Rancabuaya memang lebih terkenal dari Jayanti atau Cidaun. Daerah ini pernah diangkat dalam novel karya Dewi Lestari yang berjudul "Perahu Kertas". Berdasarkan cerita dari masyarakat sekitar, memang cukup banyak stasiun televisi yang melakukan syuting di sini. Ada pula yang membuat film layar lebar dengan setting Rancabuaya. Karena karakteristik beberapa pantai di daerah ini cocok untuk berselancar, tak sedikit pula wisatawan asing yang berkunjung ke sini.

Kami tidak punya cukup waktu untuk tinggal lebih lama. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Pameungpeuk, Kabupaten Garut. Menurut informasi dari penduduk sekitar, perjalanan ke Pameungpeuk dapat ditempuh kurang dari dua jam. (Bersambung..)

Berikutnya: 
- Pantai Santolo: aneka kerajinan untuk buah tangan, santap seafood ditepi pantai (Jabsel 6)
- Pameungpeuk - Cipatujah (Jabsel 7) 
- Cipatujah - Pangandaran (Jabsel 8 - tamat) 

27.1.11

Bandung - 1945

Catatan peristiwa di Bandung dan sekitarnya setelah Proklamasi Kemerdekaan:

29 Agustus 1945
Komite Nasional Indonesia mulai berdiri di Kota Bandung. Pada masa ini di tiap kantor dan perusahaan negara didirikan badan pimpinan yang siap sedia menerima tampuk pemerintahan, jika kekuasaan beralih ke Bangsa Indonesia.

27 & 28 September 1945
Kantor Pusat PTT, Jawatan Kereta Api dan Radio telah dikuasai para pemuda pejuang.

28 September 1945, pukul 23.00
Berdasarkan perintah pemerintah pusat, dilakukan pemindahan kekuasan dari tangan Jepang ke tangan pribumi. Untuk menjaga dan memelihara ketentraman dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan polisi diperkuat, juga dibentuk Bagian Ekonomi dan Sosial dan Palang Merah Indonesia.

29 September 1945
Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Panglima Tentara Sekutu untuk wilayah Indonesia, bahwa tidak seorang pun Tentara Inggris boleh menindas pejuang kemerdekaan, selanjutnya ia juga masih membebankan tanggung jawab urusan keamanan dan ketertiban Indonesia kepada Tentara Jepang dan Republik Indonesia.

8 & 9 Oktober 1945
Dimulai aksi penyerbuan terhadap gudang-gudang senjata Jepang di lapangan terbang Andir, di Jl. Gudang Utara dan ACW (sekarang PT Pindad). Penyerbuan cukup berhasil, namun sayang, sebelum senjata dapat dikeluarkan seluruhnya, beberapa hari kemudian gudang-gudang ini telah direbut kembali oleh Tentara jepang.

10 Oktober 1945
Terjadi bentrokan pertama dengan tentara Jepang.

11 Oktober 1945
Pimpinan pasukan pejuang telah menentukan rencana untuk menyerbu markas Jepang yang ada di Tegallega. Cara-cara perlucutan senjata terhadap pihak Jepang, juga akan dilakukan melalui perundingan terlbih dahulu, karena sudah diperoleh informasi bahwa mereka sudah sampai untuk menyerahkan senjata secara damai, akan tetapi untuk mempertanggungjawabkan kepada pihak Sekutu, perlu ada rekayasa alasan, ialah adanya penyerobotan dari para pejuang Indonesia.

12 Oktober 1945
Satu brigade Tentara Inggris yang terdiri dari serdadu India dan Gurkha, yang mewakili Tentara Sekutu, tiba di Bandung, menggunakan kereta api. Brigade ini dipimpin oleh Brigadir Jenderal Mc Donald. Kedatangan mereka resmi atas izin Pemerintah RI untuk melucuti tentara Jepang.

13 Oktober 1945
Kota Bandung didatangi tentara Inggris di bawah pimpinan Captain Gray bersama dengan Palang Merah Internasional untuk melucuti tentara Jepang, melepaskan dan mengembalikan tawanan perang.

15 Oktober 1945
Pemimpin tentara Inggris, Jenderal Mac Donald melakukan hubungan dengan pemerintah Indonesia, pukul 10.00 untuk membentuk sebuah Badan Perhubungan.

23 Oktober 1945
Allied Command menyetujui untuk menjalankan segala hal dengan perantaraan Pemerintah Republik Daerah Priangan, dan bersedia pula untuk memberikan bantuannya, namun Allied Command juga mengajukan syarat yang tidak bisa diterima begitu saja.

Menjelang November 1945
Tentara Sekutu sudah mulai aktif menjalankan tugas, baik dalam rangka melucuti Tentara Jepang, maupun dalam rangka memulihkan para tawanan perang dan interniran Belanda.

24 November 1945
Direncanakan sebagai hari penyerbuan Hotel Homan. Serangan akan dilakukan dari arah timur, selatan dan barat. Namun posisi pasukan Republik saat itu sangat buruk, jika dipaksakan mereka justru akan memasuki “killing ground” yang sudah disiapkan musuh. Belakangan muncul kecurigaan bahwa penyerbuan terhadap Homan mungkin merupakan provokasi jahat pihak NICA untuk menjebak dan menghancurkan pasukan Republik.

25 November 1945
Terjadi banjir besar akibat luapan Sungai Cikapundung. Penduduk yang mencoba menyelamatkan diri ke arah kedudukan serdadu-serdadu Gurkha yang bercokol di Hotel Homan langsung ditembaki dari atas bangunan hotel. Banjir ini meliputi wilayah yang luas sekali, terutama di bagian sebelah timur Sungai Cikapundung, sampai ke Karapitan, Buahbatu, Cilentah. Daerah lain yang lebih parah seperti Jl. Wastukencana, Viaduct, Braga, Lengkong Besar dan lain sebagainya.

27 November 1945
Jenderal Mac Donald menyampaikan ultimatum kepada gubernur, supaya rakyat meninggalkan Bandung Utara, yang merupakan wilayah kekuasaan tentara Inggris. Jika masih ada rakyat Indonesia yang masih berada di wilayah tersebut, setelah jam 12.00 tanggal 29 November akan ditangkap dan yang bersenjata akan ditembak.
--Dalam masa ini, wilayah Cicadas sempat dibom dan gudang beras D.K.A di Andir diserbu, karena wilayah Bandung Utara kekurangan bahan makanan.
--Terjadi pertempuran-pertempuran di sekitar Pabrik Kina Jl. Pajajaran, Jl. Riau, Jl. Purnawarman dan Jl. Dago. Hotel Preanger dan Hotel Homan berulang kali menjadi sasaran serangan para pejuang. Demikian pula pinggiran Kota Bandung sebelah timur, mulai Jl. Supratman, melingkar terus ke daerah utara Bandung.

29 November 1945
Meletus pertempuran hebat untuk memperebutkan gedung-gedung, seperti Gedung Pusat PTT, gedung pusat PUT atau Gedung Sate, dan lain-lain. Bangunan-bangunan ini dituntut untuk diguna-sita oleh mereka, karena dianggap berada di daerah kekuasaannya.

3 Desember 1945
Konvoi Tentara Inggris digempur Barisan Pejuang di jalan raya antara Padalarang dan Cimahi.

6 Desember 1945 – Pertempuran Lengkong
Terjadi tragedi yang memilukan di sekitar Jl. Lengkong Besar saat Tentara Inggris mengadakan serangan mendadak dengan alasan untuk membebaskan kamp tawanan orang-orang Belanda di daerah Tun Dorp (Lengkong Dalam).
Serangan diawali dengan pemboman dari pesawat udara, sedangkan serangan di darat dilakukan oleh sepasukan Tentara Inggris, yakni Pasukan Gurkha dan Pasukan Khusus Baret Merah. Diperkuat dengan pasukan tank dan panser. Mereka bergerak dari utara menerobos pos-pos pertahanan kita melaju ke arah selatan.
Pos-pos pertahanan Republik dengan persenjataan yang sangat sederhana, sudah barang tentu bukan lawan yang seimbang terhadap serangan tank dan panser yang dilengkapi senjata penggempur yang sangat ampuh, seperti meriam dan senapan otomatis. Dengan demikian gerak maju pasukan musuh yang melalui pos-pos tersebut seakan tanpa hambatan yang berarti.
Namun, memasuki Jl. Lengkong Besar pasukan republik telah melakukan pemusatan kekuatan. Maka terjadilah pertempuran seru. Gema takbir dari PAsukan Hizbullah disambut dengan berondongan senapan mesin dari atas tank-tank Tentara Inggris. Meskipun demikian, hujan peluru ini tidak mampu meredam semangat juang para mujahidin, justru mereka berlomba menaiki tank-tank baja tersebut, padahal mereka hanya bersenjatakan bambu runcing dan golok saja.
Korban berjatuhan karena disapu dengan tembakan senapan mesin, namun semangat mereka tak surut, apalagi takut, bahkan mereka jadi tambah kalap. Menghadapi perlawanan para pejuang yang demikian gigih ini, tak urung tentara Inggris nyalinya menjadi ciut. Oleh karena itu, mereka minta dibantu dengan serangan udara. Akhirnya dengan mengerahkan segala daya kekuatan dan kemampuannya, barulah tentara Inggris berhasil melindungi pengungsian orang-orang Belanda bekas para tawanan Jepang. Akibat pertempuran sengit ini, menurut laporan PMI, sekitar 84 orang gugur sebagai pahlawan, 181 orang luka berat dan 44 orang luka ringan.

3 Desember 1945
Sebuah konvoi Tentara Inggris digempur barisan pejuang di jalan raya antara Padalarang dan Cimahi.

7 Desember 1945
Tentara Inggris melakukan pembalasan dengan serangan udara. Beberapa bom dijatuhkan di Gadobangkong dan Padalarang.

18-21 Desember 1945
Gedung Villa Isola (Bumi Siliwangi) yang dianggap Tentara Inggris sebagai markas para pejuang untuk sektor utara, ditembaki senjata artileri, sampai rusak berat.

21 Desember 1945
Daerah Sukajadi yang dianggap sebagai daerah persembunyian para pejuang Indonesia dan basis penyusupan ke Bandung Utara, menderita kerugian cukup parah, karena digempur terus-menerus dengan tembakan mortir oleh Tentara Gurkha dan NICA. Sejumlah rumah penduduk juga dibakar hingga musnah oleh pihak musuh.

21-23 Desember 1945
Terjadi pertempuran seru di sekitar daerah Cicadas. Untuk mengakhiri pertempuran yang cukup lama tersebut Tentara Inggris mengerahkan kemampuan pesawat-pesawat udaranya. Tidak kurang dari 15 buah bom berukuran besar dijatuhkan di dalam kota, antara lain Pasar Cicadas yang dijatuhi 2 bom yang mampu membuat lubang di tanah dengan diameter 20 meter lebih.

26 Desember 1945
Perdana Menteri Sutan Sjahrir nyaris terbunuh oleh serdadu Belanda.

29 Desember 1945
Polisi Negara RI di Jakarta dilucuti Tentara Inggris dan dibentuk kepolisian bersama yang disebut Civil Police, yang hanya diperbolehkan bersenjata pistol saja. Maka demi keselamatan Presiden dan Wakil Presiden RI dari ancaman teroris Belanda, pada tanggal 4 Januari 1946 kedudukan Pemerintah Pusat RI dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta.

Sumber:
  • Pedoman Kota Besar Bandung/Jawatan Penerangan Kota Besar Bandung/1956
  • Serpihan-Serpihan Kenangan dalam Perang Kemerdekaan, Episode Anak Bawang Berpetualang, H Tatang Endan, ditulis dalam rangka HUT BLA ke 57.

20.1.11

Surade - Sindang Barang (Jabsel 4)

Masih terkantuk-kantuk, kami melanjutkan perjalanan dari Ujung Genteng menuju Sindang Barang. Bagaimana kondisi jalan  yang akan kami lewati? Jawabnya masih sangat gelap. Yah, namanya bertualang, mari kita terima saja apapun keadaannya.  

Dari petunjuk yang kami dapatkan sebelum perjalanan dimulai, dari Surade kami harus mengikuti petunjuk arah yang menuju Tegal Buled. Jalan menuju Tegal Buled melalui kebun-kebun. Jalan yang sama jika wisatawan ingin mengunjungi Curug (air terjun) Cikaso.

Setelah itu jalan raya membelah perkebunan karet. Kondisi jalan masih lumayan baik jika dibandingkan dengan keadaan yang menghadang di depan. Masuk ke Kecamatan Agrabinta, Kab Cianjur perut kami harus rela dikocok-kocok jalan berlubang. Kami dengan kendaraan semi truk saja sudah kewalahan menghadapi kondisi jalan, apalagi pengguna jalan lain yang rata-rata menggunakan pick-up 1000 cc bermuatan hasil kebun, seperti kelapa. Mereka terseok-seok dan harus menggunakan berbagai macam cara agar kendaraannya bisa jalan terus. 

Semakin dekat ke Sindang Barang perkebunan kelapa melingkupi jalan yang kami lewati. Di beberapa ruas memang sedang dilakukan pembetonan jalan, tetapi kondisi jalan yang belum dibeton rusak parah, karena praktis setiap hari dilewati kendaraan berat. Rasanya ingin marah, ingin menyerah, tapi kami tidak mungkin berbalik arah. Lanjutkan! Jalan berlubang pun kami terjang. 

Dan akhirnya penderitaan itu berakhir. Begitu masuk Kota Kecamatan Sindang Barang, kami langsung mencari petunjuk ke arah pantai. Inilah salah satu pantai yang berhasil kami  sambangi.. Pantai Apra!

Lagi-lagi pantai sepi, karena memang bukan musim liburan. Hanya ada satu kios/warung yang buka dan beberapa pengunjung tampak sedang bermain-main di pantai. Objek wisata Pantai Apra tampaknya memang bukan objek wisata favorit. Pantai ini tidak dipelihara dengan baik dan terbilang kotor. Namun menurut Pak Ali Munajat, yang sering mencari nafkah di sini, saat hari raya, Pantai Apra yang terletak di Kampung Sindanglaut, Desa Saganten ini ramai dikunjungi wisatawan. Dan saat itu marak pula jongko musiman. 

Selain menjadi tempat rekreasi, Pantai Apra juga sering dijadikan tempat untuk memancingikan-ikan kecil. Kami kurang paham dengan istilah yang digunakan Pak Ali soal jenis ikan yang banyak ditemui di sini. Mungkin ikan tagih dan kadukang adalah istilah yang digunakan penduduk setempat untuk menamai ikan-ikan yang banyak ditangkap. Selain itu nelayan asal Sindang Barang juga biasanya menangkap ikan pari dan kakap. 

Seperti nelayan Pantai Selatan lainnya, di pertengahan Desember 2010, nelayan Sindang Barang juga sedang paceklik. Sudah satu bulan mereka tidak melaut, karena terkendala cuaca. Di saat cuaca sedang bagus, biasanya nelayan Sindang Barang menjual hasil tangkapannya ke Cidaun, karena TPI di kawasan ini, yakni TPI Cikakap belum difungsikan. 

Masyarakat di sekitar Pantai Apra selain "mengala" ikan di pantai juga sering mengumpulkan limbah kayu dari Muara Cisadea, seperti yang Pak Ali lakukan. Kayu-kayu tersebut dikumpulkan, kemudian dipotong-potong dan disatukan dengan diikat, untuk kemudian dijual atau dipergunakan sendiri. 

Di Sindang Barang, sebenarnya adapula Pantai Karang Potong. Namun sayang, pantai ini kurang diminati pengunjung karena faktor infrastruktur. Jalan menuju pantai ini sangat labil, sehingga riskan longsor, bahkan pernah memakan korban.

Setelah puas melihat-lihat di Pantai Apra, kami melanjutkan perjalanan, berburu warung nasi Padang, lalu menuju Jayanti, Cidaun. Konon di sini banyak penginapan.. tapi... (Bersambung...)  :p

Pengumpul Kayu di Pantai Apra

14.1.11

Ujung Genteng (Jabsel 3)

Masih hari kedua..

Dari Palabuhanratu tim direncanakan akan bergerak ke Ujung Genteng melalui Kec Simpenan. Sayang jalan yang akan dilewati longsor, sehingga kami harus memutar jalan, daripada menunggu dalam ketidakpastian. Menurut kernet truk yang akan melewati jalur tersebut, ia sudah menunggu sejak jam 5 pagi dan belum bergerak sama sekali.

Akhirnya perjalanan Palabuhanratu-Ujung Genteng pun harus ditempuh dalam waktu nyaris 5 jam. Sekitar pukul 17.00 kami baru sampai ke Ujung Genteng dan langsung mencari penginapan. Jalan menuju penginapan relatif kecil. Untuk yang baru pertama kali, mungkin kekhawatiran akan menghampiri anda. Namun tenanglah, anda hanya perlu mengikuti jalan utama hingga mentok, kemudian belok lah ke kanan. Jika anda belok kiri, anda akan menuju Tempat Pelelangan Ikan. 

Awalnya kami akan menuju Pondok Heksa, namun karena jalan yang harus dilewati cukup mengkhawatirkan (jalan pasir dan mulai amblas), akhirnya kami memutuskan menginap di Pondok Adi saja. Pondok ini relatif lebih dekat ke jalan utama.  

Lantai penginapan ini terbuat dari kayu dan tembok dari bilik-bilik bambu, namun cukup nyaman. Jika akan tinggal dalam waktu yang relatif lama, mintalah peralatan seperti kompor pada petugas penginapan. Sedikit tips, tawarlah harga yang diberikan petugas, biasanya anda akan mendapat potongan, apalagi jika anda menginap bukan pada peak season.

Ujung Genteng sebetulnya memiliki banyak pantai yang indah. Ada Pantai Pangumbahan dimana secara rutin dilakukan pelepasan tukik (bayi penyu), ada pula Pantai Ombak Tujuh yang menjadi favorit para peselancar dari luar negeri. Namun pada musim barat (seperti saat kami berkunjung) atau musim penghujan sangat sulit untuk mencapai pantai ini lewat jalan darat. 

Karena hari sudah nyaris gelap saat tiba di Ujung Genteng, setelah beres-beres, kami hanya bisa mencari tempat makan malam dalam pekat malam. Maklum aliran listrik di kawasan ini sering putus tiba-tiba. Usai makan, kami segera kembali ke penginapan. Sepanjang malam angin bertiup sangat kencang, hingga sulit membedakan apakah sebenarnya turun hujan atau hanya tiupan angin yang luar biasa kencang saja di luar sana. 

Pagi hari, kebetulan ada tukang bubur yang mangkal di depan penginapan. Kami segera sarapan sebelum meneruskan perjalanan. Ternyata pada pagi hari pun angin bertiup sangat kencang. Hangatnya bubur menguap dalam sekejap karena hembusan angin. Setelah sarapan, kami langsung menuju Tempat Pelelangan Ikan untuk mewawancarai beberapa nelayan dan mengetahui bagaimana sebenarnya kondisi perikanan di Ujung Genteng.

TPI Ujung Genteng

Sampai di TPI terlihat beberapa nelayan sedang duduk-duduk santai di bale-bale yang terbuat dari bambu. Ada yang mengobrol. Ada yang asyik bermain catur. Hanya beberapa kios yang beroperasi di pasar ikan. Hampir semua nelayan yang kami temui, mengeluhkan kondisi cuaca tahun ini (2010), dimana hujan nyaris terjadi sepanjang tahun. "Pokoknya tahun sekarang, nelayan kesiksa. Sudah dua tahun tangkapan minim, karena cuaca," ujar Pak Juber, salah seorang pedagang ikan yang juga merangkap nelayan. "Kalau cuaca sedang bagus, biasanya nelayan di sini hasil tangkapannya layur dan kakap," lanjut dia.

Setelah selesai mengobrol, kami melanjutkan perjalanan, meninggalkan TPI, para pedagang dan nelayan yang sedang menunggu dalam ketidakpastian. Apakah akan ada pembeli yang datang? Apakah cuaca akan segera membaik? 

***

Tujuan berikutnya.. Sindang Barang.. Jangan lupa mengisi penuh bahan bakar di Surade.. Karena kondisi jalur yang akan ditempuh masih tanda tanya besar ?? (Bersambung...) 

13.1.11

Citepus - Karang Hawu (Jabsel 2)

Jelajah Pantai Selatan Jabar (2)

Hari Kedua..

Life Guard Pantai Citepus

Untuk mengejar waktu karena akan melanjutkan perjalanan ke Ujung Genteng, sejak pagi kami sudah menghubungi dan bertemu narasumber di Palabuhanratu. Salah satunya adalah seorang petugas Balawista (Badan Penyelamat Wisata Tirta) yang bertugas di Palabuhanratu, namanya Usup Supriatna (chief instructor). Pagi itu ia memakai kaus merah, dengan tulisan Life Guard berwarna kuning, lengkap dengan kacamata hitam yang ia "tangkringkan" pada topi yang ia kenakan. Sejenak saya jadi teringat film Baywatch yang tayang di televisi pada dekade 90-an, dengan David Hasselhoff dan Pamela Anderson sebagai bintang-bintangnya. 

Sebelum bertugas mengawasi para wisatawan yang hendak ber-banana boat, Usup menyempatkan bercerita bahwa untuk menjadi anggota Balawista perlu menempuh pendidikan dasar yang cukup berat. Anggota Balawista harus terampil dan paham teknik menolong korban, baik yang masih berada dalam keadaan sadar maupun yang pingsan. Ia juga harus paham mengenai rambu-rambu yang ada di laut dan paham karakteristik pantai tempat ia bertugas. Kemudian jika ingin menjadi instruktur yang diakui secara internasional, anggota Balawista harus kembali mengikuti pendidikan di Bali, karena Bali menjadi acuan bagi Balawista di seluruh nusantara. 

Di Kabupaten Sukabumi terdapat sekitar 12 pos pengawasan Balawista, termasuk Ujung Genteng. Pos-pos tersebut berada sepanjang Gado Bangkong hingga Cibangban. Di 12 pos tersebut disebar 96 orang personil Balawista yang setiap musim liburan cukup kerepotan mengawasi wisatawan yang membludak. Tugas ini dipersulit pula dengan ketidaktahuan atau kebandelan wisatawan yang kurang memperhatikan rambu-rambu yang sudah dipasang di pantai. Apalagi Pantai Selatan Jabar dikenal berbahaya karena arusnya. 

Rambu-rambu yang umum dipasang di pantai adalah:

  • Bendera merah, yang artinya dilarang berenang.
  • Bendera merah-kuning, artinya diperbolehkan berenang namun di bawah pengawasan.

Jadi sebaiknya sebagai pengunjung yang baik dan ingin pulang dengan selamat, jangan lah melanggar rambu-rambu tersebut. 

***

Pantai Karang Hawu


Pantai ini letaknya masih di Palabuhanratu, namun berjarak sekitar 5 km lagi dari tempat kami menginap (Hotel Augusta). Menurut penduduk Palabuhan Ratu, Karang Hawu yang terletak di Jl. Raya Cisolok ini merupakan pantai favorit. Saat saya berkunjung, di pantai ini sedang dibangun sea wall. tembok pembatas antara pantai dan jalan raya ini membuat pedagang tidak lagi bebas membangun kios di pinggir pantai, sehingga pemandangan ke arah pantai tidak terhalang, sekaligus menghilangkan kesan kumuh.

Menurut Irman (31), salah seorang pedagang makanan di Karang Hawu, penataan ini dilakukan setelah tsunami tahun 2006. Saat itu air laut sampai menggenangi kios-kios. "Dulu kami membangun di pinggir pantai, karena pengunjung sambil makan bisa lihat laut. Setelah air pasang, kios dipindahkan ke seberang jalan. Untuk menyewa kios, kami membayar iuran ke desa Rp 50.000 per bulan. Kalau lebaran atau hari-hari besar ada lagi tambahan retribusinya," papar Irman.

Pantai Karang Hawu pada hari-hari besar atau musim liburan memang ramai pengunjung. Bahkan menurut Irman, saat lebaran atau tahun baru, kemacetan lalu lintas bisa terjadi mulai Palabuhanratu sampai Karang Hawu. Momen seperti itu membawa berkah tersendiri bagi para penjaja makanan atau pakaian di sekitar Karang Hawu, yang sangat mengandalkan pendapatan dari kunjungan wisatawan. (Bersambung...)

5.1.11

Palabuhan Ratu - (Jabsel 1)

Jelajah Pantai Selatan Jabar (1)

Menjelang akhir tahun 2010, cuaca tak menentu. Lebih banyak hari hujan daripada hari bermatahari. Namun perjalanan tetap harus dimulai. Jelajah Jabar Selatan.

Dari Bandung kami langsung menuju Palabuhan Ratu, Kab Sukabumi. Cuaca relatif cerah, sehingga dalam waktu kurang lebih 5 jam, kami sudah sampai di tujuan dengan menggunakan kendaraan pribadi. Saat melintas kota Palabuhan Ratu, kami melihat plang "Kawasan Minapolitan". Kami pun berhenti dan memulai aktivitas liputan "Pansela Jabar". Di kawasan ini terdapat Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhan Ratu yang menjadi pusat kegiatan bongkar muat hasil tangkapan nelayan. Sayang, cuaca sedang tidak bersahabat, akibatnya tidak banyak nelayan yang beraktivitas.

Seperti sore itu, Beben salah seorang nelayan asli Palabuhan Ratu hanya bisa menatap deretan kapal yang bersandar di dermaga. Asap rokok mengepul dari mulutnya. Sesekali ia menghela nafas panjang, Ia mengaku sudah empat hari tidak melaut. Demikian pula dengan kebanyakan nelayan Palabuhan Ratu. Hanya sedikit yang masih berani berlayar mencari ikan, itu pun di saat cuaca sedikit mendukung dan berusaha sesegera mungkin kembali ke darat. “Gimana mau melaut, kita baru keluar angin sudah datang, sudah gitu ditimpa hujan. Sekarang kan memang sedang musim barat, banyak hujan. Air sungai banyak masuk ke laut. Jadi air laut keruh. Nah, kalau air laut keruh jadinya enggak ada ikan,” tutur Beben (41). Tahun ini boleh dikatakan sebagai tahun paceklik bagi mayoritas nelayan Pantai Selatan Jawa Barat, karena hujan nyaris turun sepanjang tahun, sedangkan masa panen mereka justru pada musim kemarau.

Nelayan Palabuhan Ratu mayoritas masih menggunakan kapal-kapal kecil dengan motor tempel, sehingga tidak dapat berlayar dalam jarak yang terlalu jauh dari pantai. Jika tidak mendaratkan ikan di Palabuhan Ratu mereka biasanya menurunkan muatan di Kab Lebak. Hasil tangkapan utama nelayan Palabuhan Ratu adalah ikan dari jenis tuna kecil berukuran (1-3 kg), salur dan cakalang kecil. Namun di saat sulit ikan seperti ini, Palabuhan Ratu justru mendapat pasokan ikan dari daerah lain. “Kalau lagi sulit begini, ikan yang dijual di pasar-pasar umumnya berasal dari Jawa,” kata Beben. Meski sudah memiliki sarana Tempat Pelelangan Ikan (TPI), fasilitas ini belum sepenuhnya digunakan. Penjualan ikan umumnya dilakukan secara langsung kepada mereka yang memberikan modal untuk berlayar, karena untuk sekali melaut dibutuhkan modal yang tidak sedikit, bisa mencapai belasan hingga puluhan juta rupiah. Namun pendapatan nelayan Palabuhan Ratu kini sedikit terdongkrak dengan berdirinya cold storage, milik pengusaha asing. Ikan layur yang banyak ditangkap nelayan Palabuhan Ratu ternyata diminati oleh konsumen asal Jepang dan Korea, sehingga ikan yang tadinya hanya dihargai kurang dari Rp 10.000 per kilogram ini, sekarang harganya bisa mencapai Rp 20.000 per kilogram.

Saat musim sedang baik, Beben, yang mulai melaut sejak keluar dari Sekolah Dasar ini biasanya mencari ikan selama satu minggu di perairan yang berjarak 60 hingga 80 mil dari Palabuhan Ratu. Kini, meskipun cuaca mendukung, masih ada kendala lain yang dialami nelayan Palabuhan Ratu, yakni sulitnya mendapatkan ikan. Beben menduga kondisi ini antara lain disebabkan oleh banyaknya rumpon yang ditebar di perairan sekitar Palabuhan Ratu. Banyaknya rumpon sedikit banyak berpengaruh pada nelayan yang masih menggunakan jaring.

Kehidupan nelayan memang dapat dikatakan tak menentu, sangat tergantung pada musim. Keadaan ini diperburuk dengan minimnya kemampuan mengelola keuangan. Padahal dalam masa sulit atau paceklik seperti sekarang, nyaris tak ada yang bisa dilakukan mayoritas nelayan. Untuk bertahan hidup sehari-hari Beben sampai harus menjual barang-barang yang ada di rumah, hingga ia pun sampai berkata, “Kalau tahu bakal begini, saya dulu lanjut sekolah.”

Usai mewawancarai beberapa orang di Kawasan Minapolitan PPN Palabuhan Ratu, kami langsung menuju penginapan untuk beristirahat. Hotel pilihan kami berlokasi di pinggir Pantai Citepus. Untuk sampai ke sana kami harus melewati Samudera Beach Hotel yang seingat saya menjadi ikon Palabuhan Ratu sejak dulu, juga melewati rumah peristirahatan negara yang dikelola Rumah Tangga Kepresidenan RI.

Setelah memilih kamar yang sesuai selera, kami beristirahat sejenak kemudian keluar hotel untuk makan malam. Ternyata di seberang penginapan deretan warung makan yang menyediakan aneka penganan seafood sudah menanti. Pilihan menu jatuh pada udang saus padang dan cumi goreng mentega.. Nyam Nyam.. Ya, rasanya memang enak, meski tak terlalu enak harganya.. hehe..  Karena nelayan Pantai Selatan sedang mengalami paceklik, harga ikan pun melambung. Jadi siapkan lah dana minimal Rp 100.000 untuk tiga orang, jika anda kebetulan berlibur ke Palabuhan Ratu dan
ngidam makanan laut.. (Bersambung...)

*dari Bandung-Palabuhan Ratu, Desember 2010