Pages

22.12.12

"Apocalypse" in Bandung

Catatan kelabu di Hari Ibu. Pada 22 Desember 2012, lewat tengah hari, kota ini diguyur hujan deras. Saat hujan mulai turun, saya masih berada di salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Cihampelas. Menikmati hari, setelah sebelumnya kota ini bermandikan sinar matahari. Terik! 

Kira-kira pukul 4 sore, saya memutuskan untuk pulang. Jika menunggu lebih lama lagi, saya takut genangan air semakin tinggi. Akhirnya saya menerobos hujan. Dari Jalan Cihampelas yang sudah dialiri air cukup deras saya naik ke fly over Pasupati dan turun di Gasibu. Hal yang belum pernah saya alami sebelumnya, dan tidak pernah saya ketahui sebelumnya bahwa jalan raya di depan Lapangan Gasibu tergenang cukup tinggi. Aliran air ini kemudian mengarah ke Jalan WR. Supratman. Untuk menghindari genangan, di depan Pusdai saya belok ke kanan menuju Jalan Riau. Lurus ke arah Jalan Laswi ternyata terdapat lagi genangan air di pertigaan sebelum rel kereta api. Saya pun mengintip ke jalur sebelah yang ternyata kondisinya lebih parah. Air menggenang setinggi trotoar, menyebabkan kendaraan seperti sedan harus menepi karena tidak bisa melewati genangan air yang cukup tinggi. Genangan kembali terjadi di Jalan Gatot Subroto di sekitar mal yang ada di jalan tersebut, hingga perempatan yang menghubungkan Jalan Gatsu dengan Jalan Kiara Condong. 

Hal yang buruk jika terjadi genangan adalah pengendara tidak bisa dengan jelas melihat lubang. Padahal di kota ini bukan rahasia lagi bahwa lubang jalan jumlahnya tak terhingga. Lubang-lubang yang dalam dapat membuat pengendara motor terpental dari kendaraannya. Salah satu jalan yang banyak lubang-lubang jahanamnya adalah Jalan Kiara Condong, yang entah kenapa meskipun sudah ditambal sulam berkali-kali tetap saja penuh jebakan (lubang-lubang menganga). Selain itu arus air yang deras bisa membuat pengendara motor tergelincir dan terbawa arus air. Persis seperti aliran sungai pindah ke jalan raya. 

Sampai di rumah, berita tentang banjir ramai dimana-mana. Bahkan keluarga terdekat pun mengabarkan bahwa rumahnya kemasukkan air, karena ada tanggul yang jebol di sekitar komplek. Rumah kemasukkan air banjir itu rasanya "apocalypse" buat yang punya rumah. Pertama, karena air banjir biasanya membawa lumpur kotor yang akan mengotori dinding. Usai genangan surut akan tercium aneka bau yang tidak sedap. Mulai dari bau anyir, bau tanah, hingga bau pesing. Membersihkan rumah yang terendam banjir itu sangat melelahkan!! Belum lagi ketakutan adanya binatang-binatang berbahaya yang tertinggal di dalam rumah saat terbawa banjir. fiuhh!!

Saya heran lho dengan negara ini. Banyak sekali orang yang mampu membeli kendaraan keluaran terbaru. Banyak pengusaha yang mampu mendirikan hotel bintang lima sampai bintang tujuh :p Restoran dan kafe mewah tersebar dimana-mana. Begitu juga pusat perbelanjaan serupa mal, hampir ada di seluruh sudut kota. Namun, pemerintahnya miskin! Padahal pajak kendaraan roda dua, dan empat itu cukup mahal menurut saya. Roda dua ratusan ribu rupiah dan roda empat hingga jutaan. Pajak hotel dan restoran bisa sampai 21 persen. Tetapi untuk membuat atau memperbaiki jalan raya susahnya minta ampun, menambah dan membersihkan drainase juga demikian. Negara ini penuh kemewahan sekaligus keprihatinan. Negara berkembang yang penduduknya lebih suka hura-hura daripada kerja keras. Negara yang penduduknya lebih memilih pergi ke mal cari hiburan, daripada membersihkan selokan di depan rumah (termasuk saya). Malas memisahkan sampah organik-non organik, apalagi membuat kompos dari sampah organik. Maunya serba gampang! Padahal negara ini masih berkembang, jauh dari maju!Semua mengeluh macet, tetapi semua ingin pakai mobil pribadi. Semua mengeluhkan banjir, tapi tidak melakukan apa-apa. Aneh kan?

Pembangunan di negara ini seperti peribahasa membangun istana di atas pasir. Pasirnya pasir hisap pula. Selesai membangun, hilang tak bersisa dihisap sang pasir. Nyaris serupa dengan pembangunan aneka fasilitas mewah tanpa pembenahan lingkungan sekitar. Tanpa pembenahan jalan raya, drainase, hutan kota, taman kota, pelestarian situ dan pembuatan danau buatan. Semua hal prinsip yang sebetulnya merupakan fondasi pembangunan, pekembangannya nol besar. Revitalisasi sungai, reboisasi, menyelamatkan daerah resapan air, jargon-jargon omong kosong. Nyatanya kelap kelip lampu di bukit yang terlihat. Lereng gundul sudah biasa. Bangunan tinggi dimana-mana. 

Biarlah, mungkin semua fasilitas mewah itu bisa mengapung manakala diterjang banjir, dan uang yang berlimpah bisa membuat banjir tiba-tiba surut, pohon-pohon tumbuh, selokan dan sungai bersih. Tidak perlu kerja keras, dan tunggulah apocalypse jilid II. 

Hari ini Hari Ibu. Ibu Pertiwi menangis, hujan tak henti-henti. Ibu-ibu yang lain meringis, sisa banjir menunggu untuk ditangani..