Pages

15.3.17

Pasar Buku dan Majalah Bekas Cikapundung

Belajar tak selalu harus mahal. Hanya perlu pandai memilah dan memilih, pengetahuan bisa didapat meski budget pas-pasan. Salah satu tempat yang menyediakan sumber pengetahuan dengan harga miring di Kota Bandung adalah pasar buku dan majalah yang berlokasi di Cikapundung Barat. Bagi para kolektor, pasar ini bisa terasa seperti surga. Aneka majalah yang baru lewat beberapa bulan terampar di sepanjang trotoar dalam keadaan yang masih mulus. Tak hanya majalah berbahasa Indonesia, majalah ‘luar’ pun tersedia di sini, seperti “National Geographic”, “Rolling Stone” dan beragam majalah lain, termasuk majalah mode.  

Eksistensi ‘Cikapundung Barat’ sudah terhitung puluhan tahun. Menurut cerita salah seorang pedagang yang bernama Zainudin (40), pasar buku ini sudah ada sejak tahun 1970-an. Awalnya selain di Cikapundung Barat, para pedagang juga berjualan di trotoar Jalan Asia Afrika. Kemudian para pedagang di Asia Afrika pindah ke Jalan Banceuy. Kemudian tahun 1980-an lapak di Jalan Banceuy yang mayoritas dihuni pedagang buku, tergusur dengan pembangunan Matahari Department Store. Para pedagang buku itu pun akhirnya sebagian pindah ke Jalan Palasari.

Para pedagang yang kini masih bertahan umumnya adalah para penerus para pedagang terdahulu, contohnya Zainudin. Awalnya ia hanya menjadi pegawai salah satu pemilik lapak yang masih terhitung famili, hingga kemudian ia menjadi penerus usaha sang pemilik awal. Demikian pula Zaenal (30), sebelas tahun yang lalu ia melanjutkan usaha rekannya yang sudah jenuh berbisnis majalah.

Meski berjualan di kaki lima, Pasar Buku dan Majalah Cikapundung ini legal dan terorganisir. Jadi para pedagang tak perlu main kucing-kucingan atau harus berkejaran dengan petugas Polisi Pamong Praja. Bahkan menurut Zaenal, para pedagang di Cikapundung Barat ini juga berhubungan baik dengan PT PLN. Sudah puluhan tahun PLN mengijinkan dinding luar kantornya digunakan sebagai tempat bersandar para pedagang. Tak hanya itu, tiap bulan Ramadhan, para pedagang juga diundang untuk buka bersama oleh PT PLN. Menjelang Idul Fitri mereka biasanya akan mendapatkan bingkisan. Sementara tiap Idul Adha, PLN menyediakan daging kurban khusus bagi para pedagang buku dan majalah. Sebagai bentuk timbal balik, para pedagang tertib menjaga kebersihan. Secara rutin mereka bergiliran membersihkan area yang digunakan untuk berjualan.

Selain amparan buku dan majalah di trotoar, ada pemandangan khas lain dari kawasan ini, yaitu deretan gerobak berwarna biru bertuliskan Kopanti Kota Bandung yang terparkir rapi di sisi trotoar. Gerobak-gerobak ini digunakan sebagai tempat untuk menyimpan buku dan majalah yang didagangkan. Usai berjualan, para pedagang akan memasukkan barang-barangnya ke dalam gerobak, lalu membawa gerobak tersebut ke tempat penyimpanan di Jalan Belakang Factory yang terletak tak jauh dari Cikapundung Barat.

Jika diamati jenis buku atau majalah yang dipajang para pedagang di kawasan ini relatif seragam. Namun tiap pedagang cenderung memiliki edisi yang berbeda satu sama lain. Umumnya edisi yang ditawarkan adalah edisi beberapa bulan lalu. Semakin baru edisinya, maka harganya pun akan lebih mahal dibandingkan dengan edisi yang lebih lama. “Biasanya kami menawarkan majalah dengan harga 60-70 persen dari banderol, tetapi di sini bebas tawar-menawar,” ujar Zaenal. Menurut dia, jenis majalah yang banyak dicari oleh para mahasiswa adalah majalah tentang arsitektur, desain grafis, interior dan taman. Para pelajar lebih sering mencari majalah berbahasa Sunda, untuk tugas sekolah. Sedangkan kalangan umum banyak yang berminat pada majalah luar negeri. “Untuk majalah arsitekur, kalau beli di tempat lain cuma dapat satu, di sini bisa dapat tiga. Tapi untuk majalah-majalah arsitektur yang tebal, harganya bisa sampai Rp 100.000. Kalau yang biasa-biasa sih satu eksemplarnya sekitar Rp 30 hingga 40 ribu,” jelas dia. Sementara jenis majalah yang relatif stabil peminatnya adalah jenis majalah otomotif dan musik. “Di sini kami sedia banyak majalah yang berkaitan dengan hobi. Biasanya yang paling lama edisi lima tahun ke belakang. Kecuali untuk majalah tertentu ada yang masih suka cari edisi tahun delapan puluhan. Kalau majalah berita gitu di sini kami jarang yang jual,” kata Zaenal.

Meskipun koleksi majalah di pasar ini relatif lengkap dan beragam, ‘perburuan’ di kawasan ini memerlukan kesabaran dan keberuntungan, karena tidak selamanya barang yang kita inginkan tersedia. Zaenal pun mengamini hal ini, “Kami tidak bisa janji memenuhi semua pesanan, kadang ada saja edisi yang sulit dicari.” Zaenal mengaku biasanya mendapat pasokan barang dari kolektor atau pelanggan majalah. Dalam transaksi, barang yang dibeli dari perorangan dapat dihitung satuan atau kiloan. Namun ia tak hanya mengandalkan penjualan dari perorangan, ia juga kerap berburu barang untuk didagangkan di Pasar Senen Jakarta.

Para pedagang di sini memang menjual jenis majalah yang relatif seragam, tetapi menurut Zaenal para pedagang di sini cenderung berdagang dalam iklim kekeluargaan. Tak kentara persaingan antara satu pedagang dengan yang lain, justru mereka akan saling membantu. Saat ada pembeli yang menanyakan satu edisi tertentu yang tidak dimiliki oleh seorang penjual, biasanya sang penjual akan sukarela mencarikan edisi yang dimaksud ke rekan sesama pedagang. Kebersamaan yang sudah terjalin selama bertahun-tahun membuat para pedagang di Cikapundung Barat memiliki rasa persaudaraan yang tinggi. Malahan jika ada seorang pedagang yang harus meninggalkan lapaknya untuk mengantar keluarga atau kerabat yang sakit, ia dapat mempercayakan barang dagangannya kepada rekannya.

Layaknya dalam tiap perdagangan ada masa merugi dan masa ‘panen’. Namun mengenai hal  ini Zaenal punya pandangan sendiri. Ia merasa nyaris tak pernah merugi. “Jualan majalah kan beda sama jualan makanan. Kalau makanan enggak laku, terus basi kan dibuang. Kalau jualan majalah begini, enggak laku, masih bisa dikilo. Satu hal yang harus diantisipasi oleh para pedagang supaya tidak merugi adalah hujan. Jika barang dagangan sampai basah karena hujan, maka menjadi nyaris tak bernilai lagi. Oleh karena itu, biasanya mereka membungkus ulang majalah-majalah tersebut menggunakan plastik. Pembeli tetap diperkenakan mengintip dahulu isi majalah sebelum membeli. Namun untuk majalah-majalah yang masih benar-benar berada dalam kondisi ‘gres’, yakni yang sudah terbit beberapa bulan lalu, tetapi belum pernah dibuka dan dibaca, maka pembeli hanya diijinkan untuk meneliti judul-judul pada sampul saja.

Menurut Zainudin, sebenarnya sekarang tingkat penjualan buku dan majalah tak lagi setinggi era 1990-an. Ia mengaku kini omzet lapaknya per hari sekitar Rp 100.000 saja. Itu pun tak menentu. “Jika ada langganan yang pesan, baru omzet bisa mencapai Rp 300.000,” kata dia. Namun seperti bisnis lainnya, para pedagang buku dan majalah ini juga memiliki masa laris manis. Pada hari Sabtu dan Minggu, lahan parkir Cikapundung Barat lebih leluasa untuk digunakan pengunjung, karena para pegawai PLN libur. Kesempatan ini digunakan para pelancong dari luar kota yang umumnya orang Jakarta menyerbu Cikapundung Barat. Hal ini agak unik, mengingat Jakarta mempunyai Pasar Senen. Namun menurut Zaenal, kawasan ini tetap diserbu, karena belum tentu barang yang ada di sini ada di Jakarta.

(Done Writing, 22 Oktober 2010)

Pasar Buku dan Majalah Cikapundung

Alamat
Jalan Cikapundung Barat
Jumlah lapak
Sekitar 20
Barang yang dijual
Buku dan majalah
Waktu operasional
Rata-rata 9.00-17.00
Pengelola
Kopanti Kota Bandung, Jl. Nias Dalem No, 8A
Rentang harga
Mulai dari Rp 5.000