Cetak atau E-Book?
Tahun ini, saya menemukan hal lain yang menarik dari membaca buku. Setelah kehilangan media cetak seperti majalah, tabloid dan koran, karena secara perlahan mereka mengurangi kualitas dan kuantitas produksi; merubah medium dari cetak menjadi online; bahkan beberapa akhirnya menghentikan produksinya dan mengucapkan selamat tinggal; syukurlah cetak buku masih bertahan! Meskipun, e-book, serta segala gawai dan aplikasi yang mendukungnya, seperti kindle, amazon, pdf, dll menyerbu, penikmat buku ternyata masih setia pada cetakan buku. Wangi kertas dan tinta memang tak tergantikan. Deretan buku di rak juga masih jadi pemandangan yang menyejukkan dan menangkan pikiran. Kita tidak bisa menjamah deretan e-book toh!
Bagaimana bisa bertahan? Menurut saya ini masalah kesetiaan. Loyalitas penulis, penerbit dan pembaca. Meskipun soal kesetiaan ini akan dibuktikan dengan waktu. Kemudian waktu akan memperkuat atau justru membuktikan seberapa kuat ikatan. Tidak hanya ikatan antara penulis dan pembaca, tetapi juga dengan penerbit dan toko buku. Simbiosis mutualisme.
Kemajuan teknologi di satu sisi membuat kita bebas memilih di antara ultra banyak pilihan. E-book atau buku cetakan? Fiksi atau non fiksi? Sastra atau metropop? Karya cetak ulang atau terbitan baru? Genre? Sepertinya masih banyak lagi pilihan yang lain bukan?
Bagaimana pilihan disajikan? Bagaimana membangun hubungan dengan konsumen atau pembaca? Bagaimana mempertahankan hubungan? Bagaimana membuat pembaca merasa terlibat dan diapresiasi? Sepertinya pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi pertimbangan tenaga pemasar buku saat ini. Banyaknya media memungkinkan penerbit dan toko buku meluaskan jangkauan. Namun, bagaimana menyasar konsumen yang spesifik? Konsumen yang akhirnya bersetia pada karya atau produk cetakan tersebut?
Membuat event rilis buku, bedah buku, challenge dan give away sepertinya menjadi strategi pemasaran. Diskon besar-besaran juga menjadi pilihan yang sulit ditolak, apalagi oleh kelektor buku. Saat ini, penjualan online atau marketplace menjadi salah satu platform yang digunakan, bahkan oleh penerbit-penerbit besar, dengan tetap menggunakan rak-rak toko buku sebagai sarana display. Deretan rak buku dengan tumpukan rapi buku-buku masih menggoda pecinta buku dengan "lambaian-lambaiannya". Tranquility. Mungkin menggambarkan kondisi ketenangan jiwa atau sensasi ekstase saat pecinta buku ada di toko buku. Hal ini kerap bikin 'nagih'. Jadi beli atau tidak beli buku, tetap perlu ada momen pergi ke toko buku hampir setiap bulannya. Jika ingin cuci mata, pergilah ke toko buku dan amati buku apa saja yang masih ada di display toko. Namun, jika Anda mencari buku dengan jadwal spesifik dan sudah jarang ditemukan, toko buku online mungkin adalah jawaban.
Dari sisi harga, toko buku yang memiliki akun di marketplace juga kerap memberikan diskon besar-besaran di tanggal atau event tertentu. Kadang kita bisa mendapatkan buku dengan harga yang kurang masuk akal murahnya, dibandingan dengan jika kita membelinya langsung di toko buku. Tinggal scroll scroll dan tap tap, pilih metode pembayaran. Dalam hitungan hari buku pilihan Anda sudah terkirim ke alamat tujuan. Jadi.. semakin mudah bagi introvert yang malas keluar rumah untuk membangun 'surga' di rak bukunya.
Aplikasi
Selain aplikasi terkait pemasaran dan pegumpulan point untuk mendapatkan diskon, ada satu aplikasi lagi yang baru saya gunakan tahun ini, dan ternyata saya menyukainya. Goodreads, ya goodreads! Akan menyenangkan jika Anda memiliki waktu untuk membuat indeks buku-buku yang pernah Anda baca, atau Anda miliki. Namun, terkadang konsistensi menjadi tantangannya. Goodreads membantu kita mengumpulkan buku-buku yang pernah kita baca, kapan kita membacanya, bahkan membantu kita menandai jika sebuah buku kita baca ulang. Goodreads juga memberikan hampir seluruh resensi buku-buku yang memiliki ISBN, dengan memanfaatkan kekuatan dan kebebasan user-nya untuk mengomentari segala hal tentang buku yang masuk dalam daftar goodreads.
Hal lain yang ditawarkan goodreads dan menarik untuk saya adalah statistik dan challenge. Hingga hari ini goodreads telah membantu saya menghitung dan membuat daftar buku apa saja yang pernah saya baca. Total 220 buku yang telah berhasil saya masukkan ke dalam daftar yang telah saya baca dan sepertinya akan terus bertambah, tidak buruk bukan?
Untuk urusan statistik, goodreads juga membantu saya melihat total buku yang bisa saya baca per tahunnya. Saya jadi tahu jumlah buku dan judul buku yang saya baca setidaknya dalam 20 tahun terakhir. Saya rasa ini super keren! Saat ini, saya juga sedang mengikuti Reading Challenge 2023-nya goodreads. Berapa banyak buku yang sanggup kamu baca di 2023? Meskipun awalnya seperti kompetisi, tetapi hal baiknya adalah aplikasi ini membuat saya bersemangat lagi di bidang literasi. Menemukan kembali gairah dan hal positif untuk mengisi waktu luang. Sementara hal negatifnya adalah belanja buku yang memenuhi rak, dan budgeting yang menjadi tidak konsisten.
Bookstagram vs Books Blogger vs Goodreads Reviewer
Awalnya karena punya akun instagram dan ingin bisa mengurangi isi rak buku (untuk diisi buku lainnya) hehehe.. Saya membuat akun instagram khusus buku, ada ulasan, ada juga jualan buku bekas yang masih layak beli atau layak baca. Setidaknya sebanding dengan harga yang saya tawarkan. Bukunya juga buku asli dan bukan buku bajakan. Namun, sekarang sepertinya memang lebih mudah jualan lewat marketplace, jadi instagram buku saya hanya sebagai tempat untuk ulasan dan display dagangan saja.
Ganti nama akun juga akhirnya pernah dilakukan, karena sepertinya namanya kurang catchy, atau kurang filosofis gitu hehe.. Terus, apa bedanya dong tiap platform yang dipakai?
Jadi.. untuk instagram lebih seperti display. Saya pajang buku yang pernah saya baca atau ingin saya lepas dan saya tautkan ke aku blogger, goodreads, atau shopee saya, sesuai kebutuhan dan tujuan tiap post atau story. Di instagram saya tidak bisa menulis ulasan panjang lebar, jadi kalau sekiranya saya ingin menulis agak panjang, berikut bercerita di balik cerita, rasanya blogger sudah paling pas. Mau sepanjang apapun, rasanya masih bisa menampung.
Untuk goodreads biasanya saya tulis apa yang saya pikirkan atau kesan saya tentang sebuah buku. Nah, sebagian dari tulisan di goodreads ini yang saya masukkan ke deskripsinya postingan instagram. Sampai sekarang, saya juga belum menemukan tema yang paling sesuai buat bookstagram saya. Tone antara satu postingan ke postingan lain di instagram saya masih suka jomplang. Anyhow.. but I am still trying.. Belakangan saya juga coba-coba bikin reels, masih jauh sih dari bookstagram pro, tapi mudah-mudahan ada gunanya buat pecinta buku lainnya.
Kalau kamu suka baca dan mau bahas buku sama-sama,
you can find me in blogspot
daily-literacy, @goodreads, instagram @dailyteracy.
May the books let us find each other..