Hanya berpikir bahwa manusia masa kini sangat logis, teknis, dan mekanis. Penjelasan tentang sesuatu terbatas hanya pada tataran yang terjelaskan secara logika. Segala daya dan upaya pun dikerahkan dengan keyakinan bahwa semua tergantung pada USAHA diri sendiri, sehingga apapun dilakukan demi tercapainya tujuan. Entah itu sikut kiri-sikut kanan, atau menghancurkan usaha atau bisnis orang lain, karena berdasarkan perhitungan di atas kertas, untuk mengembangkan bisnis dan meningkatkan keuntungan maka harus "mematikan" yang lain. Manusia kini masih meyakini sesuatu, yakni perhitungan matematika yang konon tak pernah berbohong. Sesuatu yang sejelas 1+1=2.
Sementara pada masa kanak-kanak dunia dipenuhi dengan dongeng dan keajaiban. Teringat pula saat belajar agama untuk pertama kalinya dan disodori perihal iman dan rukunnya, manusia diminta untuk meyakini sesuatu yang tak kasat mata. Cerita tentang Tuhan, Malaikat, dan takdir adalah sesuatu yang tak nampak pada penglihatan. Sementara kisah tentang Nabi dan Rasul adalah kisah yang telah diturunkan secara turun temurun selama ribuan tahun.
Yang tertinggal kini adalah kitab suci, yang berkisah tentang Sang Maha, Malaikat, Nabi dan Rasul-Nya, hari akhir, juga takdir. Sayangnya, kitab suci pun bukan bacaan favorit manusia masa kini.
Lalu apa arti agama saat ini? Sesuatu yang dilekatkan pada diri demi sebaris status di kartu tanda penduduk? Ataukah sesuatu yang diyakini berikut sederet konsekuensi? Namun, itu pun jika beragama dikaitkan dengan beriman. Dan dalam agama yang saya yakini, setelah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain "Dia", maka ada konsekuensi untuk beriman, dan itu bukan hanya pada Tuhan, tetapi pada hal-hal yang sudah dijelaskan di atas.
Diceritakan bahwa tiap manusia memiliki Malaikat pendamping di kiri-kanan, juga di depan dan di belakangnya. Jika demikian ada berapa miliar Malaikat yang telah diciptakan Tuhan? Berpikir tentang keajaiban ternyata tidak sederhana, juga tidak mudah mempercayainya.
Namun manusia senantiasa mengharapkan kedatangannya, manakala segala upaya terus membentur "dinding" yang sama, atau kala marabahaya di depan mata.
"Dan mereka bersinar, dalam kilau matahari di suatu pagi. Aku tersentak mengingat jumlah tak terhingga, angkasa, langit, bumi, angka, dan mengapa 1+1 tidak selalu sama dengan dua. Mengharapkannya dalam tiap jengkal usaha.."