Belajar tak selalu harus mahal.
Hanya perlu pandai memilah dan memilih, pengetahuan bisa didapat meski budget pas-pasan. Salah satu tempat yang
menyediakan sumber pengetahuan dengan harga miring di Kota Bandung adalah pasar buku dan majalah yang berlokasi di Cikapundung Barat. Bagi para
kolektor, pasar ini bisa terasa seperti surga. Aneka majalah yang baru lewat
beberapa bulan terampar di sepanjang trotoar dalam keadaan yang masih mulus.
Tak hanya majalah berbahasa Indonesia, majalah ‘luar’ pun tersedia di sini,
seperti “National Geographic”, “Rolling Stone” dan beragam majalah lain,
termasuk majalah mode.
Eksistensi ‘Cikapundung Barat’
sudah terhitung puluhan tahun. Menurut cerita salah seorang pedagang yang
bernama Zainudin (40), pasar buku ini sudah ada sejak tahun 1970-an. Awalnya
selain di Cikapundung Barat, para pedagang juga berjualan di trotoar Jalan Asia
Afrika. Kemudian para pedagang di Asia Afrika pindah ke Jalan Banceuy. Kemudian
tahun 1980-an lapak di Jalan Banceuy yang mayoritas dihuni pedagang buku, tergusur dengan pembangunan Matahari Department Store. Para pedagang buku itu
pun akhirnya sebagian pindah ke Jalan Palasari.
Para pedagang yang kini masih
bertahan umumnya adalah para penerus para pedagang terdahulu, contohnya
Zainudin. Awalnya ia hanya menjadi pegawai salah satu pemilik lapak yang masih
terhitung famili, hingga kemudian ia menjadi penerus usaha sang pemilik awal.
Demikian pula Zaenal (30), sebelas tahun yang lalu ia melanjutkan usaha
rekannya yang sudah jenuh berbisnis majalah.
Meski berjualan di kaki lima,
Pasar Buku dan Majalah Cikapundung ini legal dan terorganisir. Jadi para
pedagang tak perlu main kucing-kucingan atau harus berkejaran dengan petugas
Polisi Pamong Praja. Bahkan menurut Zaenal, para pedagang di Cikapundung Barat
ini juga berhubungan baik dengan PT PLN. Sudah puluhan tahun PLN mengijinkan dinding
luar kantornya digunakan sebagai tempat bersandar para pedagang. Tak hanya itu,
tiap bulan Ramadhan, para pedagang juga diundang untuk buka bersama oleh PT
PLN. Menjelang Idul Fitri mereka biasanya akan mendapatkan bingkisan. Sementara
tiap Idul Adha, PLN menyediakan daging kurban khusus bagi para pedagang buku
dan majalah. Sebagai bentuk timbal balik, para pedagang tertib menjaga
kebersihan. Secara rutin mereka bergiliran membersihkan area yang digunakan
untuk berjualan.
Selain amparan buku dan majalah
di trotoar, ada pemandangan khas lain dari kawasan ini, yaitu deretan gerobak berwarna
biru bertuliskan Kopanti Kota Bandung yang terparkir rapi di sisi trotoar.
Gerobak-gerobak ini digunakan sebagai tempat untuk menyimpan buku dan majalah
yang didagangkan. Usai berjualan, para pedagang akan memasukkan barang-barangnya
ke dalam gerobak, lalu membawa gerobak tersebut ke tempat penyimpanan di Jalan
Belakang Factory yang terletak tak jauh dari Cikapundung Barat.
Jika diamati jenis buku atau
majalah yang dipajang para pedagang di kawasan ini relatif seragam. Namun tiap
pedagang cenderung memiliki edisi yang berbeda satu sama lain. Umumnya edisi
yang ditawarkan adalah edisi beberapa bulan lalu. Semakin baru edisinya, maka
harganya pun akan lebih mahal dibandingkan dengan edisi yang lebih lama. “Biasanya
kami menawarkan majalah dengan harga 60-70 persen dari banderol, tetapi di sini
bebas tawar-menawar,” ujar Zaenal. Menurut dia, jenis majalah yang banyak
dicari oleh para mahasiswa adalah majalah tentang arsitektur, desain grafis,
interior dan taman. Para pelajar lebih sering mencari majalah berbahasa Sunda,
untuk tugas sekolah. Sedangkan kalangan umum banyak yang berminat pada majalah
luar negeri. “Untuk majalah arsitekur, kalau beli di tempat lain cuma dapat
satu, di sini bisa dapat tiga. Tapi untuk majalah-majalah arsitektur yang
tebal, harganya bisa sampai Rp 100.000. Kalau yang biasa-biasa sih satu eksemplarnya sekitar Rp 30 hingga
40 ribu,” jelas dia. Sementara jenis majalah yang relatif stabil peminatnya
adalah jenis majalah otomotif dan musik. “Di sini kami sedia banyak majalah
yang berkaitan dengan hobi. Biasanya yang paling lama edisi lima tahun ke
belakang. Kecuali untuk majalah tertentu ada yang masih suka cari edisi tahun
delapan puluhan. Kalau majalah berita gitu
di sini kami jarang yang jual,” kata Zaenal.
Meskipun koleksi majalah di
pasar ini relatif lengkap dan beragam, ‘perburuan’ di kawasan ini memerlukan
kesabaran dan keberuntungan, karena tidak selamanya barang yang kita inginkan
tersedia. Zaenal pun mengamini hal ini, “Kami tidak bisa janji memenuhi semua
pesanan, kadang ada saja edisi yang sulit dicari.” Zaenal mengaku biasanya
mendapat pasokan barang dari kolektor atau pelanggan majalah. Dalam transaksi,
barang yang dibeli dari perorangan dapat dihitung satuan atau kiloan. Namun ia
tak hanya mengandalkan penjualan dari perorangan, ia juga kerap berburu barang
untuk didagangkan di Pasar Senen Jakarta.
Para pedagang di sini memang menjual
jenis majalah yang relatif seragam, tetapi menurut Zaenal para pedagang di sini
cenderung berdagang dalam iklim kekeluargaan. Tak kentara persaingan antara satu
pedagang dengan yang lain, justru mereka akan saling membantu. Saat ada pembeli
yang menanyakan satu edisi tertentu yang tidak dimiliki oleh seorang penjual,
biasanya sang penjual akan sukarela mencarikan edisi yang dimaksud ke rekan
sesama pedagang. Kebersamaan yang sudah terjalin selama bertahun-tahun membuat
para pedagang di Cikapundung Barat memiliki rasa persaudaraan yang tinggi.
Malahan jika ada seorang pedagang yang harus meninggalkan lapaknya untuk
mengantar keluarga atau kerabat yang sakit, ia dapat mempercayakan barang
dagangannya kepada rekannya.
Layaknya dalam tiap perdagangan
ada masa merugi dan masa ‘panen’. Namun mengenai hal ini Zaenal punya pandangan sendiri. Ia merasa
nyaris tak pernah merugi. “Jualan majalah kan
beda sama jualan makanan. Kalau makanan enggak
laku, terus basi kan dibuang. Kalau jualan majalah begini, enggak laku, masih bisa dikilo. Satu hal yang harus diantisipasi
oleh para pedagang supaya tidak merugi adalah hujan. Jika barang dagangan
sampai basah karena hujan, maka menjadi nyaris tak bernilai lagi. Oleh karena
itu, biasanya mereka membungkus ulang majalah-majalah tersebut menggunakan
plastik. Pembeli tetap diperkenakan mengintip dahulu isi majalah sebelum
membeli. Namun untuk majalah-majalah yang masih benar-benar berada dalam kondisi
‘gres’, yakni yang sudah terbit beberapa bulan lalu, tetapi belum pernah dibuka
dan dibaca, maka pembeli hanya diijinkan untuk meneliti judul-judul pada sampul
saja.
Menurut Zainudin, sebenarnya sekarang
tingkat penjualan buku dan majalah tak lagi setinggi era 1990-an. Ia mengaku kini
omzet lapaknya per hari sekitar Rp 100.000 saja. Itu pun tak menentu. “Jika ada
langganan yang pesan, baru omzet bisa mencapai Rp 300.000,” kata dia. Namun seperti
bisnis lainnya, para pedagang buku dan majalah ini juga memiliki masa laris
manis. Pada hari Sabtu dan Minggu, lahan parkir Cikapundung Barat lebih leluasa
untuk digunakan pengunjung, karena para pegawai PLN libur. Kesempatan ini
digunakan para pelancong dari luar kota yang umumnya orang Jakarta menyerbu
Cikapundung Barat. Hal ini agak unik, mengingat Jakarta mempunyai Pasar Senen.
Namun menurut Zaenal, kawasan ini tetap diserbu, karena belum tentu barang yang
ada di sini ada di Jakarta.
(Done Writing, 22 Oktober 2010)
Pasar
Buku dan Majalah Cikapundung
Alamat
|
Jalan Cikapundung Barat
|
Jumlah lapak
|
Sekitar 20
|
Barang yang dijual
|
Buku dan majalah
|
Waktu operasional
|
Rata-rata 9.00-17.00
|
Pengelola
|
Kopanti Kota Bandung, Jl. Nias Dalem No, 8A
|
Rentang harga
|
Mulai dari Rp 5.000
|