“Mbak.. mbak
restorannya sudah buka?” ujar seorang tamu. Pertanyaan itu membuat Jesslyn
(22), Humas Masjid Lautze 2 kaget sekaligus geli. Bagaimana tidak, bangunan
yang sehari-harinya digunakan untuk beribadah itu pernah disangka restoran oleh
orang awam. Arsitektur Masjid Lautze ini memang unik dan terletak di antara
ruko-ruko, sehingga pernah mengecoh pengunjung. Jika dilihat dengan seksama,
bentuk bangunan masjid ini merupakan perpaduan budaya China dan Timur Tengah,
yang disesuaikan dengan lingkungan sekitar. “Masjid ini diarsiteki oleh Pak
Umar. Ia yang mendesain kubah berbentuk setengah bawang dengan banyak celah,
agar bangunan ini mempunyai ciri sebuah masjid, tetapi tidak menganggu
ventilasi mess karyawan Hotel Istana yang terletak di atas masjid ini,” tutur Jesslyn.
Selain memiliki pintu kaca, masjid ini juga dipasangi pintu model rolling door yang dikunci pada malam hari demi keamanan.
Masjid Lautze 2
sehari-harinya memang tidak selalu diramaikan jamaah. Tak seperti masjid-masjid
lain yang pintunya hampir selalu terbuka lebar, pintu masjid ini nyaris selalu
dalam keadaan tertutup. Eksistensi Masjid Lautze 2 akan nyata terlihat pada
hari Jumat, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Seperti pada suatu Jumat
di awal bulan Oktober 2010, pukul 11.00 siang, pengurus masjid sudah sibuk
mempersiapkan peralatan untuk Salat Jumat. Sound
system diletakkan di luar masjid agar khotbah dan suara imam dapat didengar
jelas oleh para jamaah. Tikar untuk alas salat diamparkan tak hanya di dalam
masjid, tetapi hingga ke trotoar di sekitar masjid, mulai dari belokan Jalan
Lembong menuju Jalan Tamblong, terus sampai hampir dekat Jalan Kejaksaan. Untuk
mempermudah jamaah yang belum bersuci, keran-keran untuk mengambil air wudu pun
disediakan di trotoar.
Tepat saat
adzan berkumandang para jamaah yang hampir semuanya laki-laki bergegas menuju
masjid. Jika beruntung mereka akan mendapatkan tempat yang terlindung dari
sinar matahari. Namun jika terlambat, mereka harus rela kepanasan dan
menanggung risiko kehujanan. Para jamaah yang kebagian salat di luar masjid,
awalnya mengisi tempat-tempat yang disediakan mulai dari belokan dan terus
bergerak ke arah kiri. Jika kebetulan jamaah Salat Jumat sangat ramai, seperti
hari itu, yakni lebih dari 230 jamaah, maka yang datang belakangan, ada yang sampai
harus salat di antara motor-motor yang diparkir di trotoar dan safnya agak
terpisah dengan jamaah yang lain. Menurut Jesslyn, pernah ada wacana untuk
menutup sementara Jalan Tamblong tiap waktu Salat Jumat, agar para jamaah tidak
terganggu dengan bisingnya kendaraan yang lalu lalang. Selain itu juga, agar tersedia
tempat salat yang lebih luas. Namun hal ini sangat sulit dilakukan, mengingat
Lautze terletak di jalan utama. Jadi yang dapat dilakukan hanyalah menyiasati
segala keterbatasan.
Usai Salat
Jumat, para jamaah segera kembali menuju ke tempat aktivitasnya masing-masing.
Dari kerumunan jamaah yang meninggalkan masjid, etnis TIonghoa tak tampak
menonjol. Mayoritas jamaah adalah warga sekitar atau karyawan yang lokasi
kantornya dekat dengan masjid. Nyaris tak ada jamaah berkulit kuning dengan
mata sipit, yang ada justru jamaah berkulit hitam, berpostur tinggi dan bermata
besar. Menurut pengurus masjid, kedua jamaah tersebut adalah keturunan Pakistan
yang bermukim di Jalan Tamblong.
Soal jamaah
Masjid Lautze 2 yang mayoritas bukan etnis Tionghoa ini diamini pula oleh
Rohmat (65). Sudah tiga tahun berturut-turut pedagang bacang keliling ini
selalu Salat Jumat di Masjid Lautze 2. Bila adzan sudah memanggil ia akan
segera bergerak dari tempat mangkalnya di Puskesmas Tamblong menuju Lautze,
memarkir gerobaknya di tepi jalan, lalu menunaikan salat. “Ah, kalau Salat
Jumat di sini mah hampir tidak ada
orang Chinanya. Kalau pun ada paling satu dua,” kata Rohmat.
Sebetulnya, misi
utama pendirian Masjid Lautze 2 adalah untuk memfasilitasi golongan non-muslim
yang ingin mengenal Islam lebih jauh, khususnya bagi etnis Tionghoa. Namun tidak
berarti lokasi masjid harus berada di daerah Pecinan. “Kami di sini ingin
berbaur. Selain itu, dasar pemikiran kami mendirikan Lautze 2 di sini adalah
karena di daerah ini tidak ada masjid. Kami ingin memfasilitasi para karyawan
yang bekerja di sekitar sini,” kata Jesslyn. Dalam perkembangannya, jamaah
masjid ini kebanyakan berasal dari RW 06, yakni warga yang tinggal di sekitar
Braga. Kecintaan warga sekitar terhadap Lautze 2 tercermin saat dahulu masjid
ini masih berstatus sewa. Untuk membiayai sewa dan pemeliharaan masjid, warga
sekitar sampai rela mengumpulkan kencleng agar Lautze 2 tetap bertahan di sini.
Keberadaan
Lautze 2 ternyata memang mengundang antusiasme masyarakat non-muslim yang ingin
mengetahui lebih jauh tentang Islam. Beberapa dari mereka tak segan berkunjung
untuk memuaskan keingintahuannya. “Mungkin mereka merasa familiar dengan
kondisi masjid yang serba merah, juga dengan pengurus masjid yang merupakan
keturunan Tionghoa, sehingga mereka merasa nyaman. Kami di sini juga berusaha
sebaik-baiknya untuk menjawab pertanyaan dan keingintahuan mereka. Dulu banyak
yang sering tanya soal kaitan Islam dengan teror bom. Kalau pertanyaan ringannya,
biasanya sih yang menyangkut perayaan
Imlek, seperti apakah di Lautze 2 ada perayaan. Sebetulnya, di sini kami tidak
memiliki agenda khusus. Cuma kalau pas
imlek, kami sering bercanda soal pembagian angpau saja,” ujar dia sambil
tertawa.
Dari
orang-orang yang berkunjung ke Lautze 2, ada yang kemudian memutuskan untuk
menjadi mualaf, meski jumlahnya tak banyak. Sebagian lainnya menjadi pengunjung
tetap yang datang lagi dan lagi. Tiap bulannya, Masjid Lautze 2 memfasilitasi
rata-rata dua hingga tiga orang untuk menjadi mualaf. Namun menurut Jesslyn, dalam
prosesi ini Lautze 2 tidak akan serta merta memberikan sertifikat Islam kepada para
mualaf. “Kami tidak ingin sertifikat tersebut disalahgunakan, seperti untuk
meminta-minta bantuan. Oleh karena itu, kami akan menahan dulu sertifikat
tersebut sekitar empat bulan. Setelah melewati masa pembinaan dan sang mualaf dinilai
sudah cukup kuat untuk berdiri sendiri, iman dan Islamnya sudah tak lagi goyah,
barulah kami berikan sertifikatnya,” ujar Jesslyn.
Pengurus Lautze
2 berpesan kepada siapa pun yang berniat melihat Lautze 2 dari dekat, sekaligus
berkunjung, tak usah ragu. Selama memiliki niat yang baik atau ingin beribadah,
semua orang akan diterima. Jika pintu kaca Lautze 2 tertutup, tak usah ragu
untuk membukanya, selama waktu belum menunjukkan pukul 17.00. Terkecuali pada
waktu-waktu tertentu, misalnya pada bulan Ramadhan, Lautze 2 selalu menyelenggarakan
Salat Tarawih berjamaah, sehingga dibuka hingga malam. Jika sehari-harinya
pintu kaca selalu tertutup, itu dikarenakan masjid ini berada di pinggir jalan
utama. “Kalau tidak ditutup, takutnya suara bising dari jalan mengganggu jamaah
yang sedang salat. Selain itu, debu juga gampang sekali masuk,” kata Jesslyn.
Jadi jangan khawatir, tak perlu berkulit putih, bermata sipit atau berbaju
merah untuk diterima di sini. Selama bertujuan baik, semua orang dipersilakan
untuk berkunjung.
Masjid Lautze 2
Alamat
|
Jalan Tamblong 27 Bandung
|
Email
|
|
Tahun berdiri
|
1997
|
Di bawah naungan
|
Yayasan Haji Karim Oei
(YHKO) yang berpusat di Jakarta
|
Tujuan pembangunan
|
Masjid kedua yang dibangun
YHKO ini merupakan pusat informasi tentang Islam bagi etnis Tionghoa dan
golongan non Muslim lainnya.
|
Jam buka
|
09.00 – 17.00
|
Luas
|
Kurang lebih 42 m2
|
Kapasitas
|
50 orang jamaah
|
Ketua DKM 2010
|
Ku Khie Fung (Fung Fung)
|
Sumber: http://lautze.or.id/masjid/