Fakta bahwa banyak catatan sejarah yang "kabur" di negeri ini mungkin sudah kita ketahui sejak lama. Entah memang sengaja dikaburkan atau "hilang". Ternyata tak hanya dokumen asli supersemar yang patut kita pertanyakan, tapi juga catatan sejarah mengenai hal-hal yang kita anggap kecil, seperti catatan tentang bangunan tua, monumen, bahkan taman kota. Kita perlu catatan mengenai hal-hal kecil tersebut, karena bangunan tua, monumen, dan pohon-pohon dengan umur ratusan tahun tak mampu berkata-kata. Catatan kecil nan penting itu lah yang kita butuhkan, untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu. Bertanya pada sumber utama, bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Setelah puluhan tahun berlalu, mungkin mereka pun sudah kembali pada-Nya.
Prinsip yang lalu biarlah berlalu ternyata tak berlaku bagi sejarah. Catatan kekhilafan masa lalu pun ternyata patut disimpan rapi, dikaji ulang, diresapi, dan diantisipasi, supaya sejarah "kelam" tak terulang lagi.
Kekecewaan saya pada catatan sejarah di Indonesia muncul saat saya mencoba untuk menggali sejarah taman-taman kota yang ada di Bandung. Beberapa taman besar yang kita miliki dan nikmati saat ini adalah peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda. Itu adalah fakta yang tak bisa dipungkiri. Meskipun saya merasa banyak usaha telah dilakukan untuk menghilangkan "bau" Belanda dari Kota Bandung sejak revolusi.
Setelah Indonesia merdeka, sekitar tahun 1950, pemerintah saat itu melarang penggunaan Bahasa Belanda dalam kehidupan rakyat. Salah satu manifestasi keinginan pemerintah saat itu adalah dengan mengganti nama-nama taman yang ada di Kota Bandung dengan nama "berbau" Indonesia. Pieterspark diganti namanya menjadi Taman Merdeka, Insulindepark menjadi Taman Nusantara, dan Ijzermanpark menjadi Taman Ganesha.
Pieterspark dan Ijzermanpark merupakan taman yang dibangun untuk menghormati jasa Tokoh Belanda di masa kolonial, atau dapat dikatakan merupakan "Taman Peringatan". Di masing-masing taman tersebut berdiri patung tokoh penting Belanda yaitu Pieter Sijthoff, seorang Asisten Residen Bandung dan Dr. Ir. Ijzerman, seorang pegawai jawatan kereta api yang berjasa besar dalam pendirian Technise Hogeschool (THS) atau yang sekarang bernama ITB.
Tak hanya mengganti nama, diperkirakan tahun 1950-an pemerintah juga melakukan pembongkaran terhadap patung-patung tokoh Belanda di Bandung. Satu-satunya patung yang tersisa adalah Patung Pastor Verbraak yang masih berdiri tegak di Taman Maluku hingga hari ditulisnya catatan ini.
Tindakan pemerintah membongkar patung-patung tersebut menurut saya sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Rasa sakit akibat penjajahan Belanda memang perlu disembuhkan. "Menghapus Jejak" Belanda mungkin menjadi soundtrack Indonesia kala itu. Namun sayang sungguh sayang, penghapusan jejak ini ternyata menghilangkan fakta-fakta dan bukti-bukti otentik yang penting bagi catatan sejarah.
Buktinya kini sulit bagi saya (dan mungkin pengamat sejarah lainnya) untuk menemukan catatan resmi kapan patung-patung tersebut dibongkar dan dimana sebenarnya patung-patung tokoh Belanda itu kini, dan bagaimana kondisinya apakah masih utuh atau tinggal keping-keping. Bahkan seorang sejarawan yang saya temui pun angkat tangan saat ditanyakan keberadaan patung-patung tersebut.
Namun, tetap ada hikmah atas semua yang telah terjadi. Untuk yang hidup hari ini dan mungkin melakukan sesuatu yang mungkin berarti buatlah dokumentasi. Mungkin suatu saat generasi mendatang membutuhkan catatan kita hari ini. Catatan sejarah tak bermaksud menghakimi siapa yang benar dan salah, siapa yang menjajah dan terjajah. Ia hanya mencatat fakta atas apa yang telah terjadi, tindakan dan perubahan kehidupan manusia dari masa ke masa.. Semoga kita cukup bijaksana..
-150508-
No comments:
Post a Comment