29 April perjalanan dimulai. Genap seminggu, Pantura Jabar akan saya jelajahi, bersama Amaliya, Hazmirullah, Ag. Tri Joko Her Riadi dan juga driver Hendi. Kami meninggalkan Bandung sekitar pukul 08.00 dengan tujuan pertama Karawang, tepatnya menuju Balai Pengembangan Budidaya Air Payau dan Laut, untuk memenuhi tugas dari kantor, menyusun laporan berseri.
Perjalanan sebenarnya tidak terlampau jauh. Dari tol Cikampek kami hanya harus menuju arah Karawang kemudian Rengasdengklok, tempat dimana dahulu para proklamator diculik, kemudian diminta untuk memproklamasikan kemerdekaan. Namun karena tersasar, kami harus memutar hingga berkilo-kilometer, melewati jalanan rusak, sempit, melintasi perkampungan dan sawah. Berkali-kali kami harus menanyakan pada penduduk setempat, apakah kami menuju arah yang benar. Hingga kami sampai di Kecamatan Pebayuran, Kab Bekasi yang seperti daerah antah berantah. Daerah ini mayoritas dihuni masyarakat berumah-rumah sederhana dan disekelilingnya terhampar pemandangan sawah-ladang, binatang ternak lalu lalang dan saluran-saluran air berukuran besar yang sayangnya jauh dari higienis. Saluran ini selain berisi air, lumpur, juga sampah-sampah plastik dan beragam benda lain. Cukup dulu cerita mengenai lingkungan yang memprihatinkan.
Kami terus memacu kendaraan menuju Rengasdengklok. Menurut informasi seorang penduduk yang kami tanyai, kami harus melewati ‘pangkalan’ untuk sampai ke tujuan. Kami semua bingung dengan istilah ‘pangkalan’, kemudian mulai menebak-nebak. Kami pikir mungkin pangkalan adalah semacam jembatan, karena sepertinya kami harus menyeberangi sungai.
Tak lama kemudian, akhirnya kami paham arti ‘pangkalan’. Ternyata yang dimaksud penduduk dengan ‘pangkalan’ adalah tempat penyeberangan, bukan jembatan. Karena wilayah Kab Bekasi dan Kab Karawang dipisahkan oleh Sungai Citarum, maka untuk sampai di Karawang, kami harus menyeberang. Harap dicatat! Bukan menggunakan jembatan. Tapi dengan sejenis rakit yang digerakkan oleh tenaga manusia. Ada semacam kabel kawat dan katrol yang dikaitkan pada tiang-tiang di daratan. Alat ini melintas di atas sungai dan bekerja layaknya timbaan sumur. Ada dua orang yang bertugas mengerek kabel agar rakit bergerak.
Meskipun sungai yang kami lintasi tidak terlampau dalam, perasaan was-was sempat singgah juga, mengingat mobil yang kami kendarai harus dinaikkan ke atas rakit kayu, yang tingkat keamanannya, ah entahlah! Rakit ini juga memang hanya pas untuk satu mobil. Pas sekali! Bersyukur.. aktivitas menyeberangi sungai ini berakhir kurang dari lima menit. Kami dikenakan biaya Rp 10.000 dan bagi masyarakat yang menggunakan kendaraan roda dua harus membayar sekitar Rp 1.000.
Turun dari ojek rakit yang bernama ‘Eretan’ ini, kami tinggal beberapa langkah lagi menuju tujuan. Harus lekas sampai, karena sudah lewat tengah hari dan perut mulai sulit diajak kompromi.
"Bersiap Menyeberang"
"Eretan"
"Lintas Citarum"
I envy you vy :)
ReplyDeletesuatu kesempatan yg langka untuk bs "belajar" langsung ke lapangan dan berurusan dgn realita orang indonesia kebanyakan. ahhh.. pasti pengetahuan mu makin "membludak"
-Lunatic_santi- ;)
Thank u San.. semoga masih banyak kesempatan lainnya. Amiin.. :)
ReplyDelete