- Pedoman Kota Besar Bandung/Jawatan Penerangan Kota Besar Bandung/1956
- Serpihan-Serpihan Kenangan dalam Perang Kemerdekaan, Episode Anak Bawang Berpetualang, H Tatang Endan, ditulis dalam rangka HUT BLA ke 57.
27.1.11
Bandung - 1945
20.1.11
Surade - Sindang Barang (Jabsel 4)
Dari petunjuk yang kami dapatkan sebelum perjalanan dimulai, dari Surade kami harus mengikuti petunjuk arah yang menuju Tegal Buled. Jalan menuju Tegal Buled melalui kebun-kebun. Jalan yang sama jika wisatawan ingin mengunjungi Curug (air terjun) Cikaso.
Setelah itu jalan raya membelah perkebunan karet. Kondisi jalan masih lumayan baik jika dibandingkan dengan keadaan yang menghadang di depan. Masuk ke Kecamatan Agrabinta, Kab Cianjur perut kami harus rela dikocok-kocok jalan berlubang. Kami dengan kendaraan semi truk saja sudah kewalahan menghadapi kondisi jalan, apalagi pengguna jalan lain yang rata-rata menggunakan pick-up 1000 cc bermuatan hasil kebun, seperti kelapa. Mereka terseok-seok dan harus menggunakan berbagai macam cara agar kendaraannya bisa jalan terus.
Semakin dekat ke Sindang Barang perkebunan kelapa melingkupi jalan yang kami lewati. Di beberapa ruas memang sedang dilakukan pembetonan jalan, tetapi kondisi jalan yang belum dibeton rusak parah, karena praktis setiap hari dilewati kendaraan berat. Rasanya ingin marah, ingin menyerah, tapi kami tidak mungkin berbalik arah. Lanjutkan! Jalan berlubang pun kami terjang.
Dan akhirnya penderitaan itu berakhir. Begitu masuk Kota Kecamatan Sindang Barang, kami langsung mencari petunjuk ke arah pantai. Inilah salah satu pantai yang berhasil kami sambangi.. Pantai Apra!
Lagi-lagi pantai sepi, karena memang bukan musim liburan. Hanya ada satu kios/warung yang buka dan beberapa pengunjung tampak sedang bermain-main di pantai. Objek wisata Pantai Apra tampaknya memang bukan objek wisata favorit. Pantai ini tidak dipelihara dengan baik dan terbilang kotor. Namun menurut Pak Ali Munajat, yang sering mencari nafkah di sini, saat hari raya, Pantai Apra yang terletak di Kampung Sindanglaut, Desa Saganten ini ramai dikunjungi wisatawan. Dan saat itu marak pula jongko musiman.
Seperti nelayan Pantai Selatan lainnya, di pertengahan Desember 2010, nelayan Sindang Barang juga sedang paceklik. Sudah satu bulan mereka tidak melaut, karena terkendala cuaca. Di saat cuaca sedang bagus, biasanya nelayan Sindang Barang menjual hasil tangkapannya ke Cidaun, karena TPI di kawasan ini, yakni TPI Cikakap belum difungsikan.
Masyarakat di sekitar Pantai Apra selain "mengala" ikan di pantai juga sering mengumpulkan limbah kayu dari Muara Cisadea, seperti yang Pak Ali lakukan. Kayu-kayu tersebut dikumpulkan, kemudian dipotong-potong dan disatukan dengan diikat, untuk kemudian dijual atau dipergunakan sendiri.
Di Sindang Barang, sebenarnya adapula Pantai Karang Potong. Namun sayang, pantai ini kurang diminati pengunjung karena faktor infrastruktur. Jalan menuju pantai ini sangat labil, sehingga riskan longsor, bahkan pernah memakan korban.
Setelah puas melihat-lihat di Pantai Apra, kami melanjutkan perjalanan, berburu warung nasi Padang, lalu menuju Jayanti, Cidaun. Konon di sini banyak penginapan.. tapi... (Bersambung...) :p
Pengumpul Kayu di Pantai Apra
14.1.11
Ujung Genteng (Jabsel 3)
Masih hari kedua..
Dari Palabuhanratu tim direncanakan akan bergerak ke Ujung Genteng melalui Kec Simpenan. Sayang jalan yang akan dilewati longsor, sehingga kami harus memutar jalan, daripada menunggu dalam ketidakpastian. Menurut kernet truk yang akan melewati jalur tersebut, ia sudah menunggu sejak jam 5 pagi dan belum bergerak sama sekali.
Akhirnya perjalanan Palabuhanratu-Ujung Genteng pun harus ditempuh dalam waktu nyaris 5 jam. Sekitar pukul 17.00 kami baru sampai ke Ujung Genteng dan langsung mencari penginapan. Jalan menuju penginapan relatif kecil. Untuk yang baru pertama kali, mungkin kekhawatiran akan menghampiri anda. Namun tenanglah, anda hanya perlu mengikuti jalan utama hingga mentok, kemudian belok lah ke kanan. Jika anda belok kiri, anda akan menuju Tempat Pelelangan Ikan.
Awalnya kami akan menuju Pondok Heksa, namun karena jalan yang harus dilewati cukup mengkhawatirkan (jalan pasir dan mulai amblas), akhirnya kami memutuskan menginap di Pondok Adi saja. Pondok ini relatif lebih dekat ke jalan utama.
Lantai penginapan ini terbuat dari kayu dan tembok dari bilik-bilik bambu, namun cukup nyaman. Jika akan tinggal dalam waktu yang relatif lama, mintalah peralatan seperti kompor pada petugas penginapan. Sedikit tips, tawarlah harga yang diberikan petugas, biasanya anda akan mendapat potongan, apalagi jika anda menginap bukan pada peak season.
Ujung Genteng sebetulnya memiliki banyak pantai yang indah. Ada Pantai Pangumbahan dimana secara rutin dilakukan pelepasan tukik (bayi penyu), ada pula Pantai Ombak Tujuh yang menjadi favorit para peselancar dari luar negeri. Namun pada musim barat (seperti saat kami berkunjung) atau musim penghujan sangat sulit untuk mencapai pantai ini lewat jalan darat.
Karena hari sudah nyaris gelap saat tiba di Ujung Genteng, setelah beres-beres, kami hanya bisa mencari tempat makan malam dalam pekat malam. Maklum aliran listrik di kawasan ini sering putus tiba-tiba. Usai makan, kami segera kembali ke penginapan. Sepanjang malam angin bertiup sangat kencang, hingga sulit membedakan apakah sebenarnya turun hujan atau hanya tiupan angin yang luar biasa kencang saja di luar sana.
Pagi hari, kebetulan ada tukang bubur yang mangkal di depan penginapan. Kami segera sarapan sebelum meneruskan perjalanan. Ternyata pada pagi hari pun angin bertiup sangat kencang. Hangatnya bubur menguap dalam sekejap karena hembusan angin. Setelah sarapan, kami langsung menuju Tempat Pelelangan Ikan untuk mewawancarai beberapa nelayan dan mengetahui bagaimana sebenarnya kondisi perikanan di Ujung Genteng.
TPI Ujung Genteng
Sampai di TPI terlihat beberapa nelayan sedang duduk-duduk santai di bale-bale yang terbuat dari bambu. Ada yang mengobrol. Ada yang asyik bermain catur. Hanya beberapa kios yang beroperasi di pasar ikan. Hampir semua nelayan yang kami temui, mengeluhkan kondisi cuaca tahun ini (2010), dimana hujan nyaris terjadi sepanjang tahun. "Pokoknya tahun sekarang, nelayan kesiksa. Sudah dua tahun tangkapan minim, karena cuaca," ujar Pak Juber, salah seorang pedagang ikan yang juga merangkap nelayan. "Kalau cuaca sedang bagus, biasanya nelayan di sini hasil tangkapannya layur dan kakap," lanjut dia.
Setelah selesai mengobrol, kami melanjutkan perjalanan, meninggalkan TPI, para pedagang dan nelayan yang sedang menunggu dalam ketidakpastian. Apakah akan ada pembeli yang datang? Apakah cuaca akan segera membaik?
***
Tujuan berikutnya.. Sindang Barang.. Jangan lupa mengisi penuh bahan bakar di Surade.. Karena kondisi jalur yang akan ditempuh masih tanda tanya besar ?? (Bersambung...)
13.1.11
Citepus - Karang Hawu (Jabsel 2)
Jelajah Pantai Selatan Jabar (2)
Hari Kedua..
Life Guard Pantai Citepus
Untuk mengejar waktu karena akan melanjutkan perjalanan ke Ujung Genteng, sejak pagi kami sudah menghubungi dan bertemu narasumber di Palabuhanratu. Salah satunya adalah seorang petugas Balawista (Badan Penyelamat Wisata Tirta) yang bertugas di Palabuhanratu, namanya Usup Supriatna (chief instructor). Pagi itu ia memakai kaus merah, dengan tulisan Life Guard berwarna kuning, lengkap dengan kacamata hitam yang ia "tangkringkan" pada topi yang ia kenakan. Sejenak saya jadi teringat film Baywatch yang tayang di televisi pada dekade 90-an, dengan David Hasselhoff dan Pamela Anderson sebagai bintang-bintangnya.
Sebelum bertugas mengawasi para wisatawan yang hendak ber-banana boat, Usup menyempatkan bercerita bahwa untuk menjadi anggota Balawista perlu menempuh pendidikan dasar yang cukup berat. Anggota Balawista harus terampil dan paham teknik menolong korban, baik yang masih berada dalam keadaan sadar maupun yang pingsan. Ia juga harus paham mengenai rambu-rambu yang ada di laut dan paham karakteristik pantai tempat ia bertugas. Kemudian jika ingin menjadi instruktur yang diakui secara internasional, anggota Balawista harus kembali mengikuti pendidikan di Bali, karena Bali menjadi acuan bagi Balawista di seluruh nusantara.
Di Kabupaten Sukabumi terdapat sekitar 12 pos pengawasan Balawista, termasuk Ujung Genteng. Pos-pos tersebut berada sepanjang Gado Bangkong hingga Cibangban. Di 12 pos tersebut disebar 96 orang personil Balawista yang setiap musim liburan cukup kerepotan mengawasi wisatawan yang membludak. Tugas ini dipersulit pula dengan ketidaktahuan atau kebandelan wisatawan yang kurang memperhatikan rambu-rambu yang sudah dipasang di pantai. Apalagi Pantai Selatan Jabar dikenal berbahaya karena arusnya.
Rambu-rambu yang umum dipasang di pantai adalah:
- Bendera merah, yang artinya dilarang berenang.
- Bendera merah-kuning, artinya diperbolehkan berenang namun di bawah pengawasan.
Jadi sebaiknya sebagai pengunjung yang baik dan ingin pulang dengan selamat, jangan lah melanggar rambu-rambu tersebut.
***
Pantai Karang Hawu
Pantai ini letaknya masih di Palabuhanratu, namun berjarak sekitar 5 km lagi dari tempat kami menginap (Hotel Augusta). Menurut penduduk Palabuhan Ratu, Karang Hawu yang terletak di Jl. Raya Cisolok ini merupakan pantai favorit. Saat saya berkunjung, di pantai ini sedang dibangun sea wall. tembok pembatas antara pantai dan jalan raya ini membuat pedagang tidak lagi bebas membangun kios di pinggir pantai, sehingga pemandangan ke arah pantai tidak terhalang, sekaligus menghilangkan kesan kumuh.
Menurut Irman (31), salah seorang pedagang makanan di Karang Hawu, penataan ini dilakukan setelah tsunami tahun 2006. Saat itu air laut sampai menggenangi kios-kios. "Dulu kami membangun di pinggir pantai, karena pengunjung sambil makan bisa lihat laut. Setelah air pasang, kios dipindahkan ke seberang jalan. Untuk menyewa kios, kami membayar iuran ke desa Rp 50.000 per bulan. Kalau lebaran atau hari-hari besar ada lagi tambahan retribusinya," papar Irman.
Pantai Karang Hawu pada hari-hari besar atau musim liburan memang ramai pengunjung. Bahkan menurut Irman, saat lebaran atau tahun baru, kemacetan lalu lintas bisa terjadi mulai Palabuhanratu sampai Karang Hawu. Momen seperti itu membawa berkah tersendiri bagi para penjaja makanan atau pakaian di sekitar Karang Hawu, yang sangat mengandalkan pendapatan dari kunjungan wisatawan. (Bersambung...)
5.1.11
Palabuhan Ratu - (Jabsel 1)
Menjelang akhir tahun 2010, cuaca tak menentu. Lebih banyak hari hujan daripada hari bermatahari. Namun perjalanan tetap harus dimulai. Jelajah Jabar Selatan.
Dari Bandung kami langsung menuju Palabuhan Ratu, Kab Sukabumi. Cuaca relatif cerah, sehingga dalam waktu kurang lebih 5 jam, kami sudah sampai di tujuan dengan menggunakan kendaraan pribadi. Saat melintas kota Palabuhan Ratu, kami melihat plang "Kawasan Minapolitan". Kami pun berhenti dan memulai aktivitas liputan "Pansela Jabar". Di kawasan ini terdapat Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhan Ratu yang menjadi pusat kegiatan bongkar muat hasil tangkapan nelayan. Sayang, cuaca sedang tidak bersahabat, akibatnya tidak banyak nelayan yang beraktivitas.
Seperti sore itu, Beben salah seorang nelayan asli Palabuhan Ratu hanya bisa menatap deretan kapal yang bersandar di dermaga. Asap rokok mengepul dari mulutnya. Sesekali ia menghela nafas panjang, Ia mengaku sudah empat hari tidak melaut. Demikian pula dengan kebanyakan nelayan Palabuhan Ratu. Hanya sedikit yang masih berani berlayar mencari ikan, itu pun di saat cuaca sedikit mendukung dan berusaha sesegera mungkin kembali ke darat. “Gimana mau melaut, kita baru keluar angin sudah datang, sudah gitu ditimpa hujan. Sekarang kan memang sedang musim barat, banyak hujan. Air sungai banyak masuk ke laut. Jadi air laut keruh. Nah, kalau air laut keruh jadinya enggak ada ikan,” tutur Beben (41). Tahun ini boleh dikatakan sebagai tahun paceklik bagi mayoritas nelayan Pantai Selatan Jawa Barat, karena hujan nyaris turun sepanjang tahun, sedangkan masa panen mereka justru pada musim kemarau.
Nelayan Palabuhan Ratu mayoritas masih menggunakan kapal-kapal kecil dengan motor tempel, sehingga tidak dapat berlayar dalam jarak yang terlalu jauh dari pantai. Jika tidak mendaratkan ikan di Palabuhan Ratu mereka biasanya menurunkan muatan di Kab Lebak. Hasil tangkapan utama nelayan Palabuhan Ratu adalah ikan dari jenis tuna kecil berukuran (1-3 kg), salur dan cakalang kecil. Namun di saat sulit ikan seperti ini, Palabuhan Ratu justru mendapat pasokan ikan dari daerah lain. “Kalau lagi sulit begini, ikan yang dijual di pasar-pasar umumnya berasal dari Jawa,” kata Beben. Meski sudah memiliki sarana Tempat Pelelangan Ikan (TPI), fasilitas ini belum sepenuhnya digunakan. Penjualan ikan umumnya dilakukan secara langsung kepada mereka yang memberikan modal untuk berlayar, karena untuk sekali melaut dibutuhkan modal yang tidak sedikit, bisa mencapai belasan hingga puluhan juta rupiah. Namun pendapatan nelayan Palabuhan Ratu kini sedikit terdongkrak dengan berdirinya cold storage, milik pengusaha asing. Ikan layur yang banyak ditangkap nelayan Palabuhan Ratu ternyata diminati oleh konsumen asal Jepang dan Korea, sehingga ikan yang tadinya hanya dihargai kurang dari Rp 10.000 per kilogram ini, sekarang harganya bisa mencapai Rp 20.000 per kilogram.
Saat musim sedang baik, Beben, yang mulai melaut sejak keluar dari Sekolah Dasar ini biasanya mencari ikan selama satu minggu di perairan yang berjarak 60 hingga 80 mil dari Palabuhan Ratu. Kini, meskipun cuaca mendukung, masih ada kendala lain yang dialami nelayan Palabuhan Ratu, yakni sulitnya mendapatkan ikan. Beben menduga kondisi ini antara lain disebabkan oleh banyaknya rumpon yang ditebar di perairan sekitar Palabuhan Ratu. Banyaknya rumpon sedikit banyak berpengaruh pada nelayan yang masih menggunakan jaring.
Kehidupan nelayan memang dapat dikatakan tak menentu, sangat tergantung pada musim. Keadaan ini diperburuk dengan minimnya kemampuan mengelola keuangan. Padahal dalam masa sulit atau paceklik seperti sekarang, nyaris tak ada yang bisa dilakukan mayoritas nelayan. Untuk bertahan hidup sehari-hari Beben sampai harus menjual barang-barang yang ada di rumah, hingga ia pun sampai berkata, “Kalau tahu bakal begini, saya dulu lanjut sekolah.”
Usai mewawancarai beberapa orang di Kawasan Minapolitan PPN Palabuhan Ratu, kami langsung menuju penginapan untuk beristirahat. Hotel pilihan kami berlokasi di pinggir Pantai Citepus. Untuk sampai ke sana kami harus melewati Samudera Beach Hotel yang seingat saya menjadi ikon Palabuhan Ratu sejak dulu, juga melewati rumah peristirahatan negara yang dikelola Rumah Tangga Kepresidenan RI.
Setelah memilih kamar yang sesuai selera, kami beristirahat sejenak kemudian keluar hotel untuk makan malam. Ternyata di seberang penginapan deretan warung makan yang menyediakan aneka penganan seafood sudah menanti. Pilihan menu jatuh pada udang saus padang dan cumi goreng mentega.. Nyam Nyam.. Ya, rasanya memang enak, meski tak terlalu enak harganya.. hehe.. Karena nelayan Pantai Selatan sedang mengalami paceklik, harga ikan pun melambung. Jadi siapkan lah dana minimal Rp 100.000 untuk tiga orang, jika anda kebetulan berlibur ke Palabuhan Ratu dan ngidam makanan laut.. (Bersambung...)
*dari Bandung-Palabuhan Ratu, Desember 2010