Siapa pun pasti tidak asing dengan restoran siap saji yang mengepung kita dari segala penjuru. Persaingan antar "mereka" sendiri pun sudah tentu gila-gilaan. "Mereka" yang sanggup bertahan hingga belasan, bahkan puluhan tahun di Indonesia, pasti punya strategi dan inovasi. Beberapa hal yang nyata terlihat, yaitu ekspansi, diversifikasi produk dan tak lupa promosi.
Makanan siap saji hampir identik dengan anak-anak dan remaja. Banyak anak-anak merengek pada orang tuanya untuk pergi ke restoran siap saji demi mendapatkan mainan yang bisa didapat dengan membeli menu khusus anak-anak. Sementara remaja sangat akrab dengan restoran siap saji, karena mungkin di tempat itu melekat imej "keren dan gaul". Melalui imej itu pula, restoran siap saji mencoba memikat konsumen yang rata-rata berumur di bawah 40 tahun, dimana "nongkrong" masih menjadi bagian utama dalam rutinitas dan rasa makanan yang cenderung hambar-hambar saja tidak masalah di lidah. Oleh karena itu, tak heran jika restoran siap saji tampak berekspansi dengan berlomba-lomba membangun tempat "nongkrong" paling keren di seantero kota, yang dilengkapi dengan aneka fasilitas seperti hot spot, tv cable, interior menarik, sofa empuk dan tak lupa keterangan "Open 24 Hours". Jika pun tak buka 24 jam setiap hari, beberapa gerai restoran siap saji, akan khusus buka 24 jam pada akhir pekan.
Tengoklah Bandung, di satu jalan yang sama di daerah sekitar pusat kota, berderet restoran siap saji siap "baku hantam" satu sama lain. Jika satu "merek" buka di sebuah jalan, tak lama "merek" yang lain akan berdiri. Sepertinya mereka tak akan berhenti berkejaran.
Selain membangun gerai mentereng, restoran siap saji juga berlomba menawarkan "paket hemat" dengan menu menarik. Ada yang secara rutin mengubah-ubah pilihan paket murahnya. Ada pula yang menciptakan menu-menu baru dengan basic yang sama , yakni aneka olahan makanan dari ayam, minuman dan es krim.
Nah, terakhir yang saya amati, ada pula yang mulai melakukan diversifikasi produk. Jadi mereka tak lagi fokus menjual ayam, namun juga aneka kue berikut minuman. Mereka pun menamakan gerai kecil tersebut "... Cafe" (tidak sebut merek). Nah, di cafe ini pengunjung yang hanya ingin minum dan makan makanan ringan dapat pula mencicipi nikmatnya "nongkrong" dan bersantai.
Saya memang bukan pengamat setia restoran siap saji, tapi baru-baru ini saya melihat pola yang sama, yakni perlombaan menyajikan menu sarapan. Jika dahulu restoran-restoran itu buka paling pagi sekitar jam 10 atau 11. Kini mereka mulai buka pukul 6 atau 7 pagi. Untuk apa? Tentu, untuk membidik konsumen berduit yang kebingungan mencari menu sarapan. Untuk menyesuaikan dengan lidah konsumen Indonesia, menu yang mereka tawarkan lazimnya bubur ayam, roti (sandwich), teh dan kopi.
Kebetulan menu sarapan yang pernah saya coba adalah secangkir teh dan sejenis pancake yang dioles mentega dan sejenis sirup. Untuk menu sarapan tersebut saya harus merogoh kocek sekitar Rp 20.000. Kesan saya, biasa saja.. Sekali lagi Rp 20.000 hanya untuk secangkir teh hangat dan sejenis pancake beroles mentega dan sirup esen buah impor (*catat hanya esen).
Ayo bandingkan dengan sarapan "real Indonesia", semangkuk bubur ayam atau sepiring kupat tahu plus teh manis panas. Kalau dihitung-hitung, paling habis Rp 8.000 saja. Jika mau berpikir dan berhitung lebih jauh, ke mana kah larinya si Rp 8.000 itu? Sederhananya, jelas untuk si penjual dan keluarganya, jika ia sudah berkeluarga. Sekarang, bandingkan dengan Rp 20.000 di atas, ke mana kah larinya? Pasti masih ada untuk pribumi, toh karyawan/ti di perusahaan itu semuanya pribumi. Penghasilan mereka ya dari produk yang berhasil dijual. Namun kita semua juga tahu bahwa restoran siap saji itu waralaba dari luar, jadi berapa persen uang yang lari ke luar negeri? Lebih banyak atau lebih sedikit dari yang dinikmati pribumi?? (*Saya juga tidak tahu, jika ada yang tahu, tolong saya diberi tahu..)
Tulisan ini bukan mengajak anti-restoran siap saji. Dasarnya hanyalah ketidakpuasan saya untuk membayar sarapan seharga Rp 20.000, karena biasanya beli kupat tahu Rp 6.000 sepiring rasanya lumayan dan yang pasti kenyang. Tapi kalau tidak ada yang "sarapan mahal" atau "makan mahal" di restoran-restoran itu, lantas bagaimana nasib pekerjanya?
Saya hanya berharap semoga keuntungan restoran-restoran itu yang ditransfer ke luar negeri sebanding dengan yang diserap pribumi..
No comments:
Post a Comment