Pages

25.7.17

Masjid Lautze 2


“Mbak.. mbak restorannya sudah buka?” ujar seorang tamu. Pertanyaan itu membuat Jesslyn (22), Humas Masjid Lautze 2 kaget sekaligus geli. Bagaimana tidak, bangunan yang sehari-harinya digunakan untuk beribadah itu pernah disangka restoran oleh orang awam. Arsitektur Masjid Lautze ini memang unik dan terletak di antara ruko-ruko, sehingga pernah mengecoh pengunjung. Jika dilihat dengan seksama, bentuk bangunan masjid ini merupakan perpaduan budaya China dan Timur Tengah, yang disesuaikan dengan lingkungan sekitar. “Masjid ini diarsiteki oleh Pak Umar. Ia yang mendesain kubah berbentuk setengah bawang dengan banyak celah, agar bangunan ini mempunyai ciri sebuah masjid, tetapi tidak menganggu ventilasi mess karyawan Hotel Istana yang terletak di atas masjid ini,” tutur Jesslyn. Selain memiliki pintu kaca, masjid ini juga dipasangi pintu model rolling door  yang dikunci pada malam hari demi keamanan.

Masjid Lautze 2 sehari-harinya memang tidak selalu diramaikan jamaah. Tak seperti masjid-masjid lain yang pintunya hampir selalu terbuka lebar, pintu masjid ini nyaris selalu dalam keadaan tertutup. Eksistensi Masjid Lautze 2 akan nyata terlihat pada hari Jumat, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Seperti pada suatu Jumat di awal bulan Oktober 2010, pukul 11.00 siang, pengurus masjid sudah sibuk mempersiapkan peralatan untuk Salat Jumat. Sound system diletakkan di luar masjid agar khotbah dan suara imam dapat didengar jelas oleh para jamaah. Tikar untuk alas salat diamparkan tak hanya di dalam masjid, tetapi hingga ke trotoar di sekitar masjid, mulai dari belokan Jalan Lembong menuju Jalan Tamblong, terus sampai hampir dekat Jalan Kejaksaan. Untuk mempermudah jamaah yang belum bersuci, keran-keran untuk mengambil air wudu pun disediakan di trotoar.

Tepat saat adzan berkumandang para jamaah yang hampir semuanya laki-laki bergegas menuju masjid. Jika beruntung mereka akan mendapatkan tempat yang terlindung dari sinar matahari. Namun jika terlambat, mereka harus rela kepanasan dan menanggung risiko kehujanan. Para jamaah yang kebagian salat di luar masjid, awalnya mengisi tempat-tempat yang disediakan mulai dari belokan dan terus bergerak ke arah kiri. Jika kebetulan jamaah Salat Jumat sangat ramai, seperti hari itu, yakni lebih dari 230 jamaah, maka yang datang belakangan, ada yang sampai harus salat di antara motor-motor yang diparkir di trotoar dan safnya agak terpisah dengan jamaah yang lain. Menurut Jesslyn, pernah ada wacana untuk menutup sementara Jalan Tamblong tiap waktu Salat Jumat, agar para jamaah tidak terganggu dengan bisingnya kendaraan yang lalu lalang. Selain itu juga, agar tersedia tempat salat yang lebih luas. Namun hal ini sangat sulit dilakukan, mengingat Lautze terletak di jalan utama. Jadi yang dapat dilakukan hanyalah menyiasati segala keterbatasan.

Usai Salat Jumat, para jamaah segera kembali menuju ke tempat aktivitasnya masing-masing. Dari kerumunan jamaah yang meninggalkan masjid, etnis TIonghoa tak tampak menonjol. Mayoritas jamaah adalah warga sekitar atau karyawan yang lokasi kantornya dekat dengan masjid. Nyaris tak ada jamaah berkulit kuning dengan mata sipit, yang ada justru jamaah berkulit hitam, berpostur tinggi dan bermata besar. Menurut pengurus masjid, kedua jamaah tersebut adalah keturunan Pakistan yang bermukim di Jalan Tamblong.

Soal jamaah Masjid Lautze 2 yang mayoritas bukan etnis Tionghoa ini diamini pula oleh Rohmat (65). Sudah tiga tahun berturut-turut pedagang bacang keliling ini selalu Salat Jumat di Masjid Lautze 2. Bila adzan sudah memanggil ia akan segera bergerak dari tempat mangkalnya di Puskesmas Tamblong menuju Lautze, memarkir gerobaknya di tepi jalan, lalu menunaikan salat. “Ah, kalau Salat Jumat di sini mah hampir tidak ada orang Chinanya. Kalau pun ada paling satu dua,” kata Rohmat.

Sebetulnya, misi utama pendirian Masjid Lautze 2 adalah untuk memfasilitasi golongan non-muslim yang ingin mengenal Islam lebih jauh, khususnya bagi etnis Tionghoa. Namun tidak berarti lokasi masjid harus berada di daerah Pecinan. “Kami di sini ingin berbaur. Selain itu, dasar pemikiran kami mendirikan Lautze 2 di sini adalah karena di daerah ini tidak ada masjid. Kami ingin memfasilitasi para karyawan yang bekerja di sekitar sini,” kata Jesslyn. Dalam perkembangannya, jamaah masjid ini kebanyakan berasal dari RW 06, yakni warga yang tinggal di sekitar Braga. Kecintaan warga sekitar terhadap Lautze 2 tercermin saat dahulu masjid ini masih berstatus sewa. Untuk membiayai sewa dan pemeliharaan masjid, warga sekitar sampai rela mengumpulkan kencleng agar Lautze 2 tetap bertahan di sini.

Keberadaan Lautze 2 ternyata memang mengundang antusiasme masyarakat non-muslim yang ingin mengetahui lebih jauh tentang Islam. Beberapa dari mereka tak segan berkunjung untuk memuaskan keingintahuannya. “Mungkin mereka merasa familiar dengan kondisi masjid yang serba merah, juga dengan pengurus masjid yang merupakan keturunan Tionghoa, sehingga mereka merasa nyaman. Kami di sini juga berusaha sebaik-baiknya untuk menjawab pertanyaan dan keingintahuan mereka. Dulu banyak yang sering tanya soal kaitan Islam dengan teror bom. Kalau pertanyaan ringannya, biasanya sih yang menyangkut perayaan Imlek, seperti apakah di Lautze 2 ada perayaan. Sebetulnya, di sini kami tidak memiliki agenda khusus. Cuma kalau pas imlek, kami sering bercanda soal pembagian angpau saja,” ujar dia sambil tertawa. 

Dari orang-orang yang berkunjung ke Lautze 2, ada yang kemudian memutuskan untuk menjadi mualaf, meski jumlahnya tak banyak. Sebagian lainnya menjadi pengunjung tetap yang datang lagi dan lagi. Tiap bulannya, Masjid Lautze 2 memfasilitasi rata-rata dua hingga tiga orang untuk menjadi mualaf. Namun menurut Jesslyn, dalam prosesi ini Lautze 2 tidak akan serta merta memberikan sertifikat Islam kepada para mualaf. “Kami tidak ingin sertifikat tersebut disalahgunakan, seperti untuk meminta-minta bantuan. Oleh karena itu, kami akan menahan dulu sertifikat tersebut sekitar empat bulan. Setelah melewati masa pembinaan dan sang mualaf dinilai sudah cukup kuat untuk berdiri sendiri, iman dan Islamnya sudah tak lagi goyah, barulah kami berikan sertifikatnya,” ujar Jesslyn.

Pengurus Lautze 2 berpesan kepada siapa pun yang berniat melihat Lautze 2 dari dekat, sekaligus berkunjung, tak usah ragu. Selama memiliki niat yang baik atau ingin beribadah, semua orang akan diterima. Jika pintu kaca Lautze 2 tertutup, tak usah ragu untuk membukanya, selama waktu belum menunjukkan pukul 17.00. Terkecuali pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada bulan Ramadhan, Lautze 2 selalu menyelenggarakan Salat Tarawih berjamaah, sehingga dibuka hingga malam. Jika sehari-harinya pintu kaca selalu tertutup, itu dikarenakan masjid ini berada di pinggir jalan utama. “Kalau tidak ditutup, takutnya suara bising dari jalan mengganggu jamaah yang sedang salat. Selain itu, debu juga gampang sekali masuk,” kata Jesslyn. Jadi jangan khawatir, tak perlu berkulit putih, bermata sipit atau berbaju merah untuk diterima di sini. Selama bertujuan baik, semua orang dipersilakan untuk berkunjung.   

Masjid Lautze 2
Alamat  
Jalan Tamblong 27 Bandung
Email
Tahun berdiri
1997
Di bawah naungan
Yayasan Haji Karim Oei (YHKO) yang berpusat di Jakarta
Tujuan pembangunan
Masjid kedua yang dibangun YHKO ini merupakan pusat informasi tentang Islam bagi etnis Tionghoa dan golongan non Muslim lainnya.
Jam buka
09.00 – 17.00
Luas
Kurang lebih 42 m2
Kapasitas
50 orang jamaah
Ketua DKM 2010
Ku Khie Fung (Fung Fung)


23 Oktober 2010




15.3.17

Pasar Buku dan Majalah Bekas Cikapundung

Belajar tak selalu harus mahal. Hanya perlu pandai memilah dan memilih, pengetahuan bisa didapat meski budget pas-pasan. Salah satu tempat yang menyediakan sumber pengetahuan dengan harga miring di Kota Bandung adalah pasar buku dan majalah yang berlokasi di Cikapundung Barat. Bagi para kolektor, pasar ini bisa terasa seperti surga. Aneka majalah yang baru lewat beberapa bulan terampar di sepanjang trotoar dalam keadaan yang masih mulus. Tak hanya majalah berbahasa Indonesia, majalah ‘luar’ pun tersedia di sini, seperti “National Geographic”, “Rolling Stone” dan beragam majalah lain, termasuk majalah mode.  

Eksistensi ‘Cikapundung Barat’ sudah terhitung puluhan tahun. Menurut cerita salah seorang pedagang yang bernama Zainudin (40), pasar buku ini sudah ada sejak tahun 1970-an. Awalnya selain di Cikapundung Barat, para pedagang juga berjualan di trotoar Jalan Asia Afrika. Kemudian para pedagang di Asia Afrika pindah ke Jalan Banceuy. Kemudian tahun 1980-an lapak di Jalan Banceuy yang mayoritas dihuni pedagang buku, tergusur dengan pembangunan Matahari Department Store. Para pedagang buku itu pun akhirnya sebagian pindah ke Jalan Palasari.

Para pedagang yang kini masih bertahan umumnya adalah para penerus para pedagang terdahulu, contohnya Zainudin. Awalnya ia hanya menjadi pegawai salah satu pemilik lapak yang masih terhitung famili, hingga kemudian ia menjadi penerus usaha sang pemilik awal. Demikian pula Zaenal (30), sebelas tahun yang lalu ia melanjutkan usaha rekannya yang sudah jenuh berbisnis majalah.

Meski berjualan di kaki lima, Pasar Buku dan Majalah Cikapundung ini legal dan terorganisir. Jadi para pedagang tak perlu main kucing-kucingan atau harus berkejaran dengan petugas Polisi Pamong Praja. Bahkan menurut Zaenal, para pedagang di Cikapundung Barat ini juga berhubungan baik dengan PT PLN. Sudah puluhan tahun PLN mengijinkan dinding luar kantornya digunakan sebagai tempat bersandar para pedagang. Tak hanya itu, tiap bulan Ramadhan, para pedagang juga diundang untuk buka bersama oleh PT PLN. Menjelang Idul Fitri mereka biasanya akan mendapatkan bingkisan. Sementara tiap Idul Adha, PLN menyediakan daging kurban khusus bagi para pedagang buku dan majalah. Sebagai bentuk timbal balik, para pedagang tertib menjaga kebersihan. Secara rutin mereka bergiliran membersihkan area yang digunakan untuk berjualan.

Selain amparan buku dan majalah di trotoar, ada pemandangan khas lain dari kawasan ini, yaitu deretan gerobak berwarna biru bertuliskan Kopanti Kota Bandung yang terparkir rapi di sisi trotoar. Gerobak-gerobak ini digunakan sebagai tempat untuk menyimpan buku dan majalah yang didagangkan. Usai berjualan, para pedagang akan memasukkan barang-barangnya ke dalam gerobak, lalu membawa gerobak tersebut ke tempat penyimpanan di Jalan Belakang Factory yang terletak tak jauh dari Cikapundung Barat.

Jika diamati jenis buku atau majalah yang dipajang para pedagang di kawasan ini relatif seragam. Namun tiap pedagang cenderung memiliki edisi yang berbeda satu sama lain. Umumnya edisi yang ditawarkan adalah edisi beberapa bulan lalu. Semakin baru edisinya, maka harganya pun akan lebih mahal dibandingkan dengan edisi yang lebih lama. “Biasanya kami menawarkan majalah dengan harga 60-70 persen dari banderol, tetapi di sini bebas tawar-menawar,” ujar Zaenal. Menurut dia, jenis majalah yang banyak dicari oleh para mahasiswa adalah majalah tentang arsitektur, desain grafis, interior dan taman. Para pelajar lebih sering mencari majalah berbahasa Sunda, untuk tugas sekolah. Sedangkan kalangan umum banyak yang berminat pada majalah luar negeri. “Untuk majalah arsitekur, kalau beli di tempat lain cuma dapat satu, di sini bisa dapat tiga. Tapi untuk majalah-majalah arsitektur yang tebal, harganya bisa sampai Rp 100.000. Kalau yang biasa-biasa sih satu eksemplarnya sekitar Rp 30 hingga 40 ribu,” jelas dia. Sementara jenis majalah yang relatif stabil peminatnya adalah jenis majalah otomotif dan musik. “Di sini kami sedia banyak majalah yang berkaitan dengan hobi. Biasanya yang paling lama edisi lima tahun ke belakang. Kecuali untuk majalah tertentu ada yang masih suka cari edisi tahun delapan puluhan. Kalau majalah berita gitu di sini kami jarang yang jual,” kata Zaenal.

Meskipun koleksi majalah di pasar ini relatif lengkap dan beragam, ‘perburuan’ di kawasan ini memerlukan kesabaran dan keberuntungan, karena tidak selamanya barang yang kita inginkan tersedia. Zaenal pun mengamini hal ini, “Kami tidak bisa janji memenuhi semua pesanan, kadang ada saja edisi yang sulit dicari.” Zaenal mengaku biasanya mendapat pasokan barang dari kolektor atau pelanggan majalah. Dalam transaksi, barang yang dibeli dari perorangan dapat dihitung satuan atau kiloan. Namun ia tak hanya mengandalkan penjualan dari perorangan, ia juga kerap berburu barang untuk didagangkan di Pasar Senen Jakarta.

Para pedagang di sini memang menjual jenis majalah yang relatif seragam, tetapi menurut Zaenal para pedagang di sini cenderung berdagang dalam iklim kekeluargaan. Tak kentara persaingan antara satu pedagang dengan yang lain, justru mereka akan saling membantu. Saat ada pembeli yang menanyakan satu edisi tertentu yang tidak dimiliki oleh seorang penjual, biasanya sang penjual akan sukarela mencarikan edisi yang dimaksud ke rekan sesama pedagang. Kebersamaan yang sudah terjalin selama bertahun-tahun membuat para pedagang di Cikapundung Barat memiliki rasa persaudaraan yang tinggi. Malahan jika ada seorang pedagang yang harus meninggalkan lapaknya untuk mengantar keluarga atau kerabat yang sakit, ia dapat mempercayakan barang dagangannya kepada rekannya.

Layaknya dalam tiap perdagangan ada masa merugi dan masa ‘panen’. Namun mengenai hal  ini Zaenal punya pandangan sendiri. Ia merasa nyaris tak pernah merugi. “Jualan majalah kan beda sama jualan makanan. Kalau makanan enggak laku, terus basi kan dibuang. Kalau jualan majalah begini, enggak laku, masih bisa dikilo. Satu hal yang harus diantisipasi oleh para pedagang supaya tidak merugi adalah hujan. Jika barang dagangan sampai basah karena hujan, maka menjadi nyaris tak bernilai lagi. Oleh karena itu, biasanya mereka membungkus ulang majalah-majalah tersebut menggunakan plastik. Pembeli tetap diperkenakan mengintip dahulu isi majalah sebelum membeli. Namun untuk majalah-majalah yang masih benar-benar berada dalam kondisi ‘gres’, yakni yang sudah terbit beberapa bulan lalu, tetapi belum pernah dibuka dan dibaca, maka pembeli hanya diijinkan untuk meneliti judul-judul pada sampul saja.

Menurut Zainudin, sebenarnya sekarang tingkat penjualan buku dan majalah tak lagi setinggi era 1990-an. Ia mengaku kini omzet lapaknya per hari sekitar Rp 100.000 saja. Itu pun tak menentu. “Jika ada langganan yang pesan, baru omzet bisa mencapai Rp 300.000,” kata dia. Namun seperti bisnis lainnya, para pedagang buku dan majalah ini juga memiliki masa laris manis. Pada hari Sabtu dan Minggu, lahan parkir Cikapundung Barat lebih leluasa untuk digunakan pengunjung, karena para pegawai PLN libur. Kesempatan ini digunakan para pelancong dari luar kota yang umumnya orang Jakarta menyerbu Cikapundung Barat. Hal ini agak unik, mengingat Jakarta mempunyai Pasar Senen. Namun menurut Zaenal, kawasan ini tetap diserbu, karena belum tentu barang yang ada di sini ada di Jakarta.

(Done Writing, 22 Oktober 2010)

Pasar Buku dan Majalah Cikapundung

Alamat
Jalan Cikapundung Barat
Jumlah lapak
Sekitar 20
Barang yang dijual
Buku dan majalah
Waktu operasional
Rata-rata 9.00-17.00
Pengelola
Kopanti Kota Bandung, Jl. Nias Dalem No, 8A
Rentang harga
Mulai dari Rp 5.000