Pages

11.5.10

Molukkenpark

Taman Maluku - Molukkenpark, 23 April 2008

Sore itu sekitar pukul 17.00, saya mengunjungi sebuah taman kota yang terletak di antara Jalan Ambon, Seram, dan Aceh di Kota Bandung. Sebuah lokasi yang sering dilewati, namun mungkin jarang diperhatikan dengan seksama. Bahkan mungkin tak banyak yang tahu bahwa di taman ini terdapat patung seorang pastur, yang bernama H. C. Verbraak. Patung ini terletak di sudut taman yang berbatasan langsung dengan kompleks perkantoran milik TNI di Jl. Seram. Keberadaannya memang tak banyak disadari, karena tertutupi dahan-dahan pohon.

Taman ini sekarang dikenal dengan nama Taman Maluku. Pohon-pohon dengan usia puluhan dan ratusan tahun menghuni taman yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda ini. Dahulu taman ini bernama Molukkenpark. Selain pohon-pohon besar, terdapat pula tanaman berupa semak-semak, rumput, dan sedikit bunga-bungaan. Seharusnya ada keterangan tentang jenis pohon-pohon yanga ada di taman ini. Keterangan tersebut dituliskan pada sebuah papan dan diletakkan dekat dengan pohon yang dimaksud. Namun sisa papan yang ada hanya tinggal sebuah dan bertuliskan "pohon damar".

Di tengah-tengah taman terdapat sebuah kolam, dengan ornamen air mancur di tengahnya. Sayang, kolam tersebut tampak sudah tidak berfungsi lagi. Dasar kolam tampak jelas dan hanya ada sisa air hujan yang menggenang di sana. Fasilitas lain yang dimiliki taman ini adalah jalan setapak, saluran-saluran air, dan tempat untuk duduk-duduk. Namun tak tampak penerangan yang memadai, sehingga jika malam hari tiba, taman ini mungkin nyaris gelap gulita.

Sore itu tampak tiga orang sedang duduk-duduk di bangku taman, dan seorang perempuan membereskan pakaian yang telah dijemur di atas semak-semak sejak siang hari. Saat dihampiri dan ditanyakan nama serta aktivitas yang mereka lakukan di taman ini, mereka menjawab ramah. Dua orang yang memperkenalkan diri, kita sebut saja Tati dan Markus.

Tati adalah seorang perempuan berusia sekitar 20 tahun. Ia mengaku sudah sejak lama sering berada di taman ini karena tidak punya tempat tinggal. "Saya kabur dari kampung, daripada selalu bikin malu dan dimarahi orang tua," ujar Tati. Keputusannya untuk lari dari rumah diawali oleh suatu kejadian aneh yang menyebabkannya merasa tidak lagi normal. "Saya dulu pernah mati tapi bangun lagi. Waktu itu saya mati jam 3 pagi. Saat keluarga sudah mempersiapkan pemakaman eh.. jam 6 saya bangun lagi. Sejak itu kelakuan saya gak normal. Jadi kayak anak kecil. Untung di Bandung saya ketemu dengan Mas Markus. Saya ikut dia sekarang," kata Tati lagi.

Seusai Tati bercerita, giliran Markus yang bersuara. Di samping Markus tampak seorang perempuan dengan tatapan kosong sedang menghisap rokoknya. Potongan rambut dan pakaiannya nyaris menyerupai laki-laki. "Ini istri saya. Dia kena gangguan jiwa. Tiga orang ini ikut saya," ujar Markus sambil menunjuk seorang laki-laki lain yang sedang jongkok dan menyembunyikan wajahnya.

"Kami mencuci pakaian di sini, dengan memakai air selokan. Tidur di sini juga. Kalau hujan ya kami tidur di emperan toko. Kami tidak punya pekerjaan. Untuk makan kami minta sedekah pada orang-orang," tutur Markus lagi. Sore itu udara cukup dingin. Langit mendung pertanda hujan akan segera turun. Namun Tati, Markus dan istrinya, serta seorang laki-laki lain belum beranjak kemana pun. Mungkin berharap rimbunnya pepohonan bisa melindungi mereka dari guyuran hujan dan dinginnya angin.

***

Keesokan harinya saya berkunjung ke tempat yang sama. Waktu menunjukkan pukul 10.30 saat saya berjalan memasuki taman. Di saluran air yang ada dalam kompleks taman terlihat seorang lelaki berusia sekitar 60 tahun sedang mencuci pakaian dengan air yang mengalir di selokan tersebut. Beberapa meter kemudian di bangku taman terlihat sepasang muda-mudi sedang bercengkrama. Saya pun berlalu dan mengarahkan pandangan ke tempat saya bertemu empat orang yang unik sehari sebelumnya.

Ternyata saya masih menjumpai Tati, Markus dan istrinya. Mereka belum beranjak dari tempat mereka kemarin. Markus terlihat sedang membereskan alas tidurnya, sedangkan Tati sedang duduk sambil menggaruk-garuk kepalanya di bangku taman. Setelah menyapa mereka, saya kembali melanjutkan perjalanan berkeliling taman.

Di sisi lain taman yang berbatasan dengan GOR Saparua, saya melihat seorang ibu dan ketiga anaknya. Anak sulungnya berusia sekitar lima tahun. Mungkin mereka penghuni lain taman ini. Anak yang paling kecil berada dalam dekapan ibunya. Sedangkan kedua kakaknya yang tidak bercelana bermain di saluran air.

Tanggapan? Hmm.. Saya tidak tahu harus berpendapat apa. Setidaknya masih ada ruang terbuka hijau bagi mereka di kota Bandung ini. Taman kota untuk para tuna wisma.

No comments:

Post a Comment